Cabuk Wijen Wonogiri

Kekayaan kuliner tradisional Indonesia memang wajib digali. Meski seringkali sudah terpinggirkan dan terlupakan, namun ternyata di pelosok-pelosok desa masih menjaga tradisi kuliner khasnya.

Wonogiri, sebuah kabupaten yang terletak di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah ini terkenal dengan udaranya yang panas dan kering. Suhunya yang panas membuat wilayah ini hanya bisa ditumbuhi beberapa tanaman kuat, misalnya singkong, pohon jati, wijen, jambu mede, dan lainnya.

Hasil panenannya pun memengaruhi kuliner khas di daerah tersebut. Singkong diolah menjadi nasi tiwul, jambu mede diambil bijinya menjadi kacang mede, daun pohon jati dimanfaatkan untuk menambah rasa khas dalam tempe bungkus. Sedangkan wijen diolah menjadi cabuk wijen.

Mungkin nama cabuk terdengar tak asing di telinga. Mungkin yang Anda dengar adalah cabuk rambak. Meski namanya mirip, namun kedua jenis cabuk ini tidak ‘bersaudara’. Namun, kesamaannya, kedua makanan ini menggunakan wijen dalam makanannya. Tak heran, cabuk merujuk pada arti wijen.

Selain berasal dari kota asal yang berbeda, tampilan kedua cabuk ini memiliki yang sangat berbeda. Cabuk rambak berasal dari Surakata, Solo sedangkan cabuk wijen berasal Wonogiri.

Cabuk rambak merupakan sajian sejenis ketupat nasi yang diiris tipis dan disiram saus wijen berwarna cokelat yang dicampur kemiri dan kelapa parut. Sedangkan cabuk wijen sebenarnya lebih mirip pepes wijen.

Kuliner langka

Dulunya, cabuk wijen adalah makanan yang dinikmati di hampir setiap rumah tangga di kabupaten ini. Namun, seiring perkembangan zaman, kuliner ini makin terpinggirkan.

Di Wonogiri, penjual makanan khas ini juga semakin sedikit. Makanan ini makin sulit ditemukan. Pasar kota Wonogiri adalah salah satu tempat untuk mencari makanan khas ini.

Langkanya cabuk wijen disebabkan karena proses pembuatannya yang sedikit rumit. Tak cuma itu, tampilan makanan ini juga terlihat kurang menggugah selera karena warnanya yang hitam pekat. Warna hitam ini didapatkan dari campuran londo (daun pisang yang dibakar).

Cabuk wijen memiliki tampilan mirip seperti pepes namun ukurannya lebih kecil mirip otak-otak. Cabuk wijen ini dibuat dari biji mentah wijen yang disangrai (digoreng tanpa minyak).

Setelah matang, wijen kemudian ditumbuk sampai halus dan dicampur air. Setelah dicampur air, adonan tepung wijen ini dikukus. Untuk menghasilkan rasa yang enak dan khas, adonan wijen ini dicampur dengan parutan kelapa, londo (daun pisang yang dibakar), cabai, bawang, gula jawa, dan petikan daun kemangi.

Semua adonan yang sudah tercampur ini kemudian dibungkus dengan daun pisang dan dikukus sampai matang. Cabuk kemudian dibakar.

Di Wonogiri sendiri, penduduknya masih banyak yang menggunakan tungku kayu bakar. Penggunaan kayu bakar akan membuat aroma cabuk makin sedap.

Meski tampilannya kurang menarik karena warnanya yang hitam pekat, cabuk memiliki aroma yang sedap. Tak hanya aroma, cabuk wijen memiliki rasa yang pedas namun sedikit getir karena adanya campuran londo di dalamnya. Cabuk wijen ini dikenal juga sebagai sambal wijen. Pasalnya, ketika disantap, cabuk hanya diambil sedikit kemudian dicolek dan disantap bersama dengan makanan lainnya.

Cabuk ini nikmat disantap bersama dengan nasi putih panas. Namun, ada juga orang yang lebih suka menyantapnya bersama dengan nasi tiwul.