Belajar Peduli Lingkungan dengan Puisi


[sumber: pngtree]

Banyak hal yang dapat dijadikan sebagai bagian dari pembelajaran, termasuk puisi. Puisi merupakan salah satu karya sastra yang sering dijumpai. Karya sastra ini bisa ditemukan dengan mudah di media cetak maupun elektronik. Menurut Sari (2015) puisi dipandang sebagai suatu karya sastra yang menekankan pada nilai estetika dan dampak yang ingin penulis timbulkan bagi pembacanya. Kalian dapat memperoleh didikan mengenai sikap peduli lingkungan melalui puisi. Nah, pada kesempatan kali ini kita akan menganalisis sebuah puisi berjudul “Ratapan Hutan” yang ditulis oleh Ratih Martadisastra. Pembahasan ini juga termasuk bagian dari kegiatan apresiasi sastra, lho! Yuk, kita cari tahu bersama!

Pertama-tama kita harus mengetahui dulu jenis puisinya. Puisi yang bertajuk “Ratapan Hutan” itu masuk ke dalam jenis puisi baru. Jika ingin diklasifikasikan lagi, puisi tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok elegi. Hal itu sudah terlihat jelas dari judul yang diberikan oleh sang penulis. Kata “ratapan” dapat diartikan sebagai tangisan yang disertai dengan ucapan yang menyedihkan, sedangkan elegi sendiri merupakan jenis puisi yang berisi tentang kesedihan mendalam. Sementara itu, tema alam menjadi pokok pikiran yang diangkat dalam puisi ini. Kata “hutan” sudah cukup menunjukkannya.

“Ratapan Hutan” adalah puisi yang terdiri dari empat bait. Namun, ada sedikit perbedaan pada bait terakhir. Hal itu nampak dari jumlah baris yang dimiliki. Bait pertama sampai ketiga masing-masing mempunyai empat baris, sedangkan bait terakhir terdiri atas enam baris. Puisi ini memiliki rima akhir yang berpola a-a-a-a b-b-b-b. Kita bisa membacanya dari akhir kalimat setiap bait, misalnya pada kata terjadi, melati, menutupi, dan kini. Penulis juga mencantumkan unsur pengimajian atau pencitraan di dalamnya. Imaji penglihatan dapat kita temukan pada dua kalimat, yaitu “Melihat ketamakan manusia” dan “Kulihat awan tak lagi seputih melati.” Sementara imaji perasaan ada pada beberapa kalimat, seperti “Hidupku teramat sengsara” dan “Hingga aku tertatih dan terus tersakiti.”

Penggunaan gaya bahasa dalam puisi tersebut dapat dilihat melalui dua macam majas yang ditemukan. Majas yang pertama adalah majas simile. Hal itu nampak pada bait ketiga baris kedua yang mengatakan “Kulihat awan tak lagi seputih melati.” Selanjutnya, majas yang kedua adalah majas personifikasi. Hal itu telah dibuktikan melalui citraan perasaan. Kita selaku pembaca diajak merasakan emosi pohon-pohon yang ada di hutan. Penulis mengambil sudut pandang sebagai pepohonan hutan yang turut meluapkan pikiran dan perasaannya, seolah-olah bisa merasakan kesakitan dan penderitaan, seperti manusia.

Puisi berjudul “Ratapan Hutan” ini mengusung konsep ekologi. Pengarang menyoroti hubungan timbal balik antara manusia dan hutan sebagai isu utama. Pengarang mengkritik perbuatan manusia yang sewenang-wenang, seperti penebangan liar dan pembakaran hutan telah merusak kehidupan pohon-pohon kita. Bahkan mengganggu ekosistem karena populasi pohon yang terus berkurang, padahal kehadiran mereka sangat vital dalam kehidupan. Tentu saja, perilaku semacam itu tidak sepadan dengan manfaat yang telah diberikan hutan bagi dunia. Hal itu seakan-akan menegaskan pepatah air susu dibalas air tuba.

Bagaimana? Mengagumkan, ya! Berbagai elemen puisi ternyata menarik sekali untuk dibahas. Kita pun jadi tahu bahwa puisi bisa menjadi salah satu sarana yang tepat untuk mencurahkan apa pun yang ada di dalam pikiran dan benak kita lalu mewujudkannya dalam sebuah karya sastra yang indah. Selain menghasilkan karya, banyak orang akan memperoleh nilai-nilai yang positif pula, sama seperti puisi milik Ratih Martadisastra tersebut. Puisi tersebut mengingatkan para pembaca agar mau menjaga dan melestarikan lingkungan, terutama hutan yang sering disebut sebagai paru-paru dunia. Puisi tersebut juga bertujuan untuk memberi peringatan sekaligus supaya kita dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Mari, kita sayangi hutan dan lingkungan di sekitar kita!

  • ETK -

Referensi :

Gloriani, Y. (2017). Pengkajian Puisi Melalui Pemahaman Nilai-Nilai Estetika Danetika Untuk Membangun Karakter Siswa. Semantik, 3(2), 97-113

Sari, P. (2015). Penggunaan metafora dalam puisi William Wordsworth. DIALEKTIKA: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Matematika, 1(2), 115-128

Sumarsilah, S. (2017). Mengkaji Nilai-Nilai Moral dalam Puisi sebagai Media Pendidikan Moral. Paradigma: Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya, 23(1), 57-56

Yanti, Z. P., & Gusriani, M. P. A. (2022). Apresiasi Puisi (Teori dan Aplikasi). Malang: CV Literasi Nusantara Abadi