Hari ini adalah hari yang sangat cerah. Matahari bersinar membuatku terbangun dengan senyum yang merekah. Seperti biasa, aku akan menjalani hari ini untuk bersekolah. Aku adalah anak perempuan pertama di keluargaku, dimana hal itu membuat orangtuaku sangat protektif kepadaku. Salah satu contoh keprotektifannya yaitu mereka melarangku untuk belajar naik motor, sehingga aku harus selalu diantar jemput oleh mereka ketika berangkat ke sekolah. Padahal jarak dari rumahku ke sekolah cukup jauh, yang terkadang aku sendiri merasa kasian kepada orangtuaku. Tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah menjadi keputusan mereka.
Hari ini adalah jadwal ayahku untuk mengantarku ke sekolah. Dibawanya aku untuk menerjang empun pagi dan angin sejuk yang memeluk tubuh mungilku. Tidak banyak pemandangan yang bisa aku nikmati karena tertutupi badan tegap ayahku. Sesampainya di depan gerbang sekolah, ada satu hal yang selalu aku syukuri, yaitu bisa sampai tujuan dengan selamat. Karena ayah mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata yang membuat perasaanku takut antara hidup dan mati. Tetapi perasaanku menjadi lebih baik setelah melihat dan bertemu teman-teman sekolahku. Energi positif kembali aku rasakan yang membuat diriku yakin akan melewati hari dengan sangat menyenangkan.
Menjelang sore, setelah semua pelajaran selesai, bel pulang sekolah pun berbunyi. Pulang sekolah kali ini aku akan dijemput oleh ibuku. Aku mengeluarkan ponsel untuk mengirim pesan singkat kepada ibuku untuk minta jemputan. Setelah itu aku berjalan menuju depan gerbang sekolah. Menunggu jemputan ibu sembari melihat anak-anak lain pergi meninggalkan sekolah. Setelah menunggu hampir setengah jam, aku melihat motor ibuku mendekat ke arahku.
Perjalanan pulang kali ini terasa menyenangkan. Di sepanjang jalan, aku menceritakan hal-hal yang terjadi di sekolah pada hari itu. Namun, saat melewati tikungan menuju jalan pulang, tiba-tiba motor yang kita kendarai oleng dan ibu memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan untuk mengecek keadaan. Ibu menatap ban belakang motor dan ya, benar saja ban motor yang kita kendarai kempes. Sialnya kita sekarang ada di jalan yang jauh dari penduduk, dan hanya ada sawah di kiri-kanan jalan. Menyadari bahwa tidak ada cara untuk memperbaikinya sendiri dan langit mulai meredup. Kita memutuskan untuk mendorong motor mencari bengkel terdekat.
Sekitar 5 menit kita mendorong motor tiba-tiba ibu menaiki motor dan ‘WUSHHHH’ ibu meninggalkan ku seorang diri di jalan sepi itu. Melihat hal itu aku hanya mematung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku masih mencerna apa yang sedang terjadi. “SUMPAH?!” teriakku kesal setelah menyadari bahwa ibu benar-benar meninggalkanku sendiri. Aku mencoba menelfon ibu dan hasilnya nihil. Tidak ada balasan apapun. “Ga mungkin aku dibuang kan?” tanyaku sambil terus berjalan berharap ibu kembali untuk menjemputku.
Langit mulai gelap, aku masih terus berjalan. Sambil mengamati jalanan, banyak kendaran yang berlalu lalang tetapi mereka semua seakan tidak melihatku. Aku merasa putus asa. Dalam pikiranku, muncul ketakutan dan kemarahan terhadap ibuku yang tega meninggalkanku. Tak terasa air mata pun menetes di pipiku. Di sepanjang jalan aku hanya bisa menangis dan berharap agar tidak diculik.
Aku mencoba untuk terus menenangkan diri dan berjalan menunduk lesu. Tak lama setelah aku melewati pertigaan jalan, ada sebuah motor mendekat ke arahku. “Putri?” tanyanya lirih kepadaku. Aku menoleh sambil menghapus air mataku. Aku mencoba mengenali siapa sosok yang berada di sebelahku saat ini. “Fika?” tanyaku dengan suara serak. Wajah Fika teman sekelasku saat SMP, muncul dalam ingatanku. Kita dulunya akrab, tetapi setelah lulus, aku kehilangan kontak dia. Melihat kondisiku terlihat ada kekhawatiran dan sedikit gelak tawa dari bibirnya. Tanpa basa-basi Ia pun menyuruhku untuk naik ke atas motornya dan berniat mengantarkanku pulang. Tangis dan tawaku langsung pecah disaat yang bersamaan. Di sepanjang jalan aku menceritakan kronologi yang telah terjadi. Di balik peristiwa ini aku merasakan ada kehangatan persabahabatan yang kembali hadir di tengah perbincangan kita. Ada rasa malu dan beruntung bisa dipertemukan kembali dengan sahabat lama dengan kondisi seperti ini. Meskipun waktu dan jarak memisahkan, hubungan yang kuat dapat terjalin kembali. Persahabatan yang tulus akan selalu ada, dan bertemu kembali dapat menghidupkan kembali kenangan indah.
Sesampainya di rumah, aku melihat ibu sedang menungguku. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku maupun mulut ibuku. Jujur saja aku masih kesal dengan apa yang telah terjadi. Tetapi ada rasa bangga yang terlihat dari wajah ibuku.