Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah dan Hakikat Bahasa

Berkaitan dengan fenomena kepunahan bahasa daerah di Indonesia menurut (Sari 2020) Kondisi masyarakat yang multietnik dan diikuti oleh kontak antaretnik termasuk kontak bahasa tersebutlah yang dapat menyebabkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan seperti bilingualisme (atau bahkan multilingualisme) yang sering terjadi pada kelompok-kelompok bahasa pada daerah minoritas. Kontak bahasa tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa (language shift), yaitu perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari terutama sebagai akibat migrasi, atau terjadinya perubahan bahasa (language change), yaitu perubahan dalam bahasa sepanjang suatu periode.

Lanjut berkaitan dengan budaya Daerah yang terancam punah di Indonesia, (Budiarto 2020) memaparkan bahwa Cultural invasion merupakan tantangan tersendiri bagi pelestarian bahasa daerah, seiring dengan perubahan hidup yang lebih modern menuntut pula kemodernan dalam suatu kebudayaan. Masyarakat akan memilih sesuatu yang baru yang sekiranya sesuai dengan zamannya dia hidup saat itu.

Lanjut mengenai ancaman 4 bahasa daerah di Indonesia Tersebut, diperlukan adanya suatu tindakan agar ancaman mengenai bahasa bahasa tersebut bisa teratasi. Dalam hal ini (Tondo 2009) mengemukakan bahwa Salah satu hal penting yang dapat dilakukan untuk melestarikan bahasa daerah di Indonesia ialah dengan menumbuhkan kesadaran tiap warga etnik tertentu akan pentingnya bahasa daerah mereka. Kesadaran akan bahaya kepunahan bila bahasa daerah mereka sudah tidak digunakan dalam kehidupan mereka perlu dimunculkan. Selain itu Pelestarian bahasa daerah ini juga dapat dilakukan melalui media cetak maupun elektronik. Perlunya media cetak dan elektronik memunculkan berita, artikel, atau acara budaya dengan bahasa daerah tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas bisa disimpulkan bahwa terdapat beberapa bahasa daerah di Indonesia yang terancam mengalami kepunahan yang disebabkan oleh kondisi masyarakat yang multietnik serta adanya Cultural Invasion. Oleh karena itu pelestarian Bahasa daerah perlu dilakukan agar ancaman punahnya Bahasa daerah bisa teratasi.

Referensi:

Budiarto, Gema. 2020. “Dampak Cultural Invasion Terhadap Kebudayaan Lokal: Studi Kasus Terhadap Bahasa Daerah.” Pamator Journal 13(2):183–93. doi: 10.21107/pamator.v13i2.8259.

Sari, faradilla Intan. 2020. “Analisis Kepunahan Bahasa Pada Masyarakat Transmigrasi Di Jorong Lubuk Macang Kabupaten Dharmasraya.” Ijtvet 1(1):25–30.

Tondo, Fanny Henry. 2009. “Kepunahan Bahasa-Bahasa Daerah: Faktor Penyebab Dan Implikasi Etnolinguistis.” Jurnal Masyarakat & Budaya 11(2):277–96.

Fenomena kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia
tampaknya telah menjadi persoalan yang cukup menarik perhatian
banyak kalangan ilmuwan terutama para linguis. Berbagai upaya telah
dan sedang dilakukan dalam rangka menyelamatkan bahasa-bahasa
daerah yang cenderung mengarah pada proses kepunahan.
Kondisi masyarakat yang multietnik dan diikuti oleh kontak
antaretnik termasuk kontak bahasa dapat menyebabkan terjadinya
berbagai fenomena kebahasaan seperti bilingualisme (atau bahkan
multilingualisme) yang sering terjadi pada kelompok-kelompok bahasa
minoritas. Kontak bahasa tersebut dapat pula mengakibatkan terjadinya
pergeseran bahasa (language shift), yakni perubahan secara tetap dalam
pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari terutama sebagai
akibat migrasi, atau terjadinya perubahan bahasa (language change),
yakni perubahan dalam bahasa sepanjang suatu periode (Kridalaksana
1993: 169, 172). Selain itu, arus informasi dan komunikasi beserta
dengan berbagai gejala lainnya yang muncul akibat spektrum aktifitas
dan orientasi pemakaian bahasa masyarakat dewasa ini yang semakin
global turut pula memicu munculnya berbagai persoalan kebahasaan,
termasuk persoalan kepunahan bahasa daerah.

Referensi :
Tondo, H. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan implikasi etnolinguistis. Jurnal masyarakat dan budaya , 11 (2), 277-296.

Fenomena kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia
tampaknya telah menjadi persoalan yang cukup menarik perhatian banyak kalangan ilmuwan terutama para linguis. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan dalam rangka menyelamatkan bahasa-bahasa daerah yang cenderung mengarah pada proses kepunahan. Tentu saja cukup beralasan mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua New Guinea. Dalam kasus bahasa-bahasa daerah di Indonesia, dapat dikemukakan beberapa contoh bahasa daerah yang berada di ambang kepunahan. Bahasa Hamap di Kabupaten Alor (Provinsi Nusa Tenggara
Timur) misalnya, yang penuturnya diperkirakan tinggal sekitar 1000 orang, dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Wurm di atas, yakni sebagai bahasa yang berpotensi terancam punah (potentially endangered language)
karena dalam percakapan sehari-hari generasi mudanya lebih cenderung menggunakan bahasa Melayu Alor daripada menggunakan bahasa etnik mereka yakni bahasa Hamap (Katubi 2005: 102).

Referensi Tondo, H. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan implikasi etnolinguistis. Jurnal masyarakat dan budaya, 11(2), 277-296.

Menurut Kridalaksana dan Djoko Kentjono (dalam Chaer, 2014:32) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi antar manusia. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kepunahan bahasa, salah satu faktor adalah kondisi masyarakat penuturnya yang bilingual atau bahkan multilingual.Artinya, kondisi di mana seorang penutur mampu menggunakan dua bahasa atau bahkan multibahasa. Pada situasi seperti ini sering terjadi alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) berkaitan dengan penggunaan beberapa leksikon maupun frase bahasa lain dalam tuturan (utterance). Alih kode (code switching) ialah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain, sedangkan campur kode (code mixing) dapat berupa interferensi. Interferensi yaitu pengaruh tidak permanen, oleh karena merupakan penyimpangan norma bahasa kedua sebagai akibat penggunaan norma bahasa pertama atau sebaliknya (Weinreich 1953) dalam Masinambow (1976). Atau, dapat juga dikatakan sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk didalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb (Kridalaksana 1993: 9,35).

Referensi
Tondo, H. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan implikasi etnolinguistis. Jurnal masyarakat dan budaya, 11(2), 277-296.

Proses kepunahan beberapa jenis bahasa diatas sebenarnya tidak dapat kita kendalikan. Sebelum masuk ke pembahasan utama, ada baiknya kita ketahui dulu latar belakang dari kepunahan bahasa ini.

Seperti yang kita semua ketahui zaman selalu mengalami perubahan dan perkembangan setiap harinya. Perubahan atau perkembangan ini tentu saja berefek kepada unsur hidup, salah satunya adalah bahasa. Bahasa tentunya juga mengalami perubahan yang sangat signifikan setiap harinya. Perubahan ini terletak pada banyak hal, dan salah satu letak perubahan pada bahasa adalah ‘kepunahan’ atua ‘hilangnya’ suatu bahasa dikarenakan beberapa faktor. Misalnya seperti pengaruh globalisasi, kebebasan invidivu dalam berbahasa, efek westernisasi, dan lain-lain.

Hal ini sejalan pula dengan hakikat bahasa yang produktif dan dinamis. Produktif dalam bahasa artinya adalah bahasa memiliki unsur yang terbatas, namun hal tersebut dijadikan satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas. Selain itu bahasa juga akan selalu dan terus menerus dikembangkan oleh masyarakat. Dinamis dalam berbahasa artinya adalah bahasa akan berubah apabila manusia mengalami perubahan. Maksudnya, selama manusia terus bergerak maju maka bahasa juga akann begitu. Bahasa tidak statis, melainkan dinamis.

Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepunahan bahasa apabila dikaitkan dengan hakikat bahasa adalah karena sifat natural dari bahasa itu sendiri, yakni produktif dan dinamis.

Referensi :
Chaer, Abdul. (2014). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Elsa Nurachmah

Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk
menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang dimaksudkan oleh
pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara
melalui bahasa yang diungkapkan. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat
komunikasi (Chaer, 2006).

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan sesama manusia dalam
berinteraksi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik baik verbal maupun
nonverbal. Bahasa sebagai media komunikasi agar lebih mudah dipahami oleh
pihak lain karena dapat mentransmisikan informasi dengan menggunakan simbolsimbol bahasa (Amri, 2015).

Dari kedua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki peranan yang sangat penting sebagai alat komunikasi yang mana akan mempermudah gagasan, ide dan segala ungkapan agar dapat tersampaikan tepat sasaran dan dapat dipahami dalam kegiatan interaksi komunikasi.

Bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Keunikan bahasa setiap daerah menandakan identitas daerah tertentu, sehingga penting untuk dilakukan suatu kajian yang dapat dengan jelas menunjukkan keunikan tersebut. Hal itu perlu menjadi perhatian utama, karena kebanyakan dalam menyebut bahasa yang satu dengan yang lain merupakan bahasa yang berbeda atau hanya perbedaan variasi, belumlah jelas. Masing-masing daerah tidak ingin bahasanya disama-samakan dengan bahasa di daerah yang lain (S, Susiati,2019)

Sudah seharusnya bahasa dilestarikan keberadaannya dan berupaya mencegah terjadinya kepunahan bahasa daerah

Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di samping itu ia juga berfungsi sebagai bahasa budaya, bahasa pemersatu intra-etnis, mempererat keakraban serta untuk mengetahui sejarah dan bukti peninggalan nenek moyang dalam bentuk perangkat bertutur. Bahasa daerah memegang peranan penting sebagai indentitas, ciri khas, alat komunikasi, dan instrument selama berabad-abad hingga ribuan tahun lewat lisan dan tulisan.

Maka upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kepunahan budaya yaitu sangat dianjurkan bagi para orangtua untuk membiasakan anak berkomunikasi dengan bahasa daerah. Jangan pernah takut atau khawatir anak akan gagap berbahasa Indonesia karena sejak kecil lebih dibiasakan bahasa daerah, karena lambat laut si anak akan cepat belajar bahasa Indonesia di lingkungan sosial sekolah dan masyarakat. Sangat disayangkan kadangkala ada anak memiliki marga Batak, tetapi tidak bisa bahkan tidak tahu bahasa daerahnya sendiri. Juga ada siswa atau mahasiswa mengaku bersuku Jawa tetapi sama sekali tidak bisa memahami apalagi menuturkan Bahasa Jawa baik Kromo maupun Ngoko. Hal ini banyak dijumpai baik di kota maupun di desa. Sudah bisa diprediksi bagaimana generasi selanjutnya si anak akan menikah dan memiliki anak, otomatis anak keturunannya sehari-hari tidak berkomunikasi dengan bahasa daerah. Lambat laun bahasa daerah pudar, terlupakan, adat istiadat dan budaya dianggap kuno dan dipandang ketinggalan zaman. Tentu, kita tidak ingin hal itu terjadi. Jadi, seorang anak fasih dan lancar berbahasa daerah dan budaya serta adat istiadatnya sangat dipengaruhi lingkungan keluarga (ayah, ibu dan anggota keluarga) dan lingkungan masyarakat. Fenomenanya, penggunaan bahasa daerah sudah mulai luntur, jarang sekali orang tua mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak. Tidak hanya pendidikan utama di rumah yang sudah tidak menggunakan bahasa daerah, melainkan di lingkungan pun mulai tergeser. Desa yang kemungkinan menjaga terlestarinya bahasa daerah pun sekarang terjajah dengan pembangunan-pembangunan yang mengarah pada “meng-kota-kan desa”

Referensi:
Haraha, R. A., & Pi, S. (2018). HAKIKAT BAHASA.
Susiati, S. (2020). Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah.

Menurut Wurm (1998) sebagaimana dikutip dari (Thompson & Gleason, 2001) mengklasifikasikan kondisi “kesehatan” bahasa dalam beberapa tahap seperti yang dapat dikemukakan berikut ini:

(1) Potentially endangered languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas. Generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa daerah;

(2) Endangered languages yaitu bahasa-bahasa yang terancam punah adalah bahasa yang tidak mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa daerah. Penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi menengah (dewasa);

(3) Seriously endangered languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap sangat terancam punah adalah bahasa yang hanya berpenutur generasi tua berusia di atas 50 tahun;

(4) Moribund languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap sekarat adalah bahasa yang dituturkan oleh beberapa orang sepuh yaitu sekitar 70 tahun ke atas; dan

(5) Extinct languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap punah adalah bahasa yang penuturnya tinggal satu orang.

Dalam kasus bahasa bahasa derah di Indonesia (Katubi 2005: 102). mengemukakan beberapa contoh bahasa daerah yang berada di ambang kepunahan. Bahasa Hamap di Kabupaten Alor (Provinsi Nusa Tenggara Timur) misalnya, yang penuturnya diperkirakan tinggal sekitar 1000 orang, dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Wurm di atas, yakni sebagai bahasa yang berpotensi terancam punah (potentially endangered language) karena dalam percakapan sehari-hari generasi mudanya lebih cenderung menggunakan bahasa Melayu Alor daripada menggunakan bahasa etnik mereka yakni bahasa Hamap.

SUMBER REFRENSI
Thompson, R. B., & Gleason, J. B. (2001). CRYSTAL, DAVID.(2000). Language death. APPLIED PSYCHOLINGUISTICS, 22(2), 269–272.
Katubi. 2005. ”Pemilihan Bahasa dan Perubahan Identitas Kultural”. Dalam Katubi (ed.), Identitas Etnolinguistik Orang Hamap: Kode Etnisitas dan Bahasa Simbol. Jakarta: LIPI Press.

Menurut (Tondo, 2009) dalam jurnalnya mengemukakan bahwa pengaruh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional terutama dalam berbagai ranah resmi (formal) seperti pemerintahan dan pendidikan, yang seringkali menyebabkan frekuensi pemakaian bahasa daerah semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bahwasannya pengerucutan bahasa berperan banyak dalam hilangnya berbagai bahasa daerah.

Referensi:
Tondo, H. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: faktor penyebab dan implikasi etnolinguistis. Jurnal masyarakat dan budaya, 11(2), 277-296.

Landweer (1991:1) berpendapat bahwa kepunahan bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan bahasa sebagian besar masyarakat tuturnya.

Sedangkan pengertian bahasa sendiri sesuai pendapat para peneliti adalah sebagai berikut:

Chaer (2006) mengemukakan bahasa ialah sebuah ungkapan yang mempunyai maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang dimaksud pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara melalui bahasa yang diungkapkan.

Selanjutnya, Amri (2015) juga berpendapat bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik, baik verbal atau pun nonverbal. Bahasa sebagai media komunikasi agar lebih mudah dipahami oleh pihak lain karena dapat mentransmisikan informasi menggunakan simbol-simbol bahasa.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi berupa suatu ungkapan untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain melalui pertukaran simbol linguistik dan akibat dari kepunahan bahasa adalah pemilihan bahasa pada sebagian besar masyarakat pembicara itu sendiri.

Referensi:
Haraha, R. A., & Pi, S. (2018). HAKIKAT BAHASA.
Ibrahim, G. A. (2011). Bahasa terancam punah: Fakta, sebab-musabab, gejala, dan strategi perawatannya. Linguistik Indonesia, 29(1), 35-52.

Bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Keunikan bahasa setiap daerah menandakan identitas daerah tertentu, sehingga penting untuk dilakukan suatu kajian yang dapat dengan jelas menunjukkan keunikan tersebut. Hal itu perlu menjadi perhatian utama, karena kebanyakan dalam menyebut bahasa yang satu dengan yang lain merupakan bahasa yang berbeda atau hanya perbedaan variasi, belumlah jelas. Masing-masing daerah tidak ingin bahasanya disama-samakan dengan bahasa di daerah yang lain (S, Susiati,2019).
Kekayaan luar biasa yang tanpa kita sadari perlahan lenyap dan punah di negeri ini. Yaitu bahasa daerah. Bahasa daerah adalah kekayaan terakhir sebuah bangsa sebagai bukti adanya peradaban, seni dan budaya bahkan eksistensi bangsa itu sendiri yang diwariskan baik secara lisan maupun tulisan. Kondisi terancamnya bahasa daerah mendorong Badan Unesco PBB menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa daerah internasional. Menurut data Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB (Unesco: United Nations Education, Social and Culture Organization) pada 2014 menyebutkan bahwa sebanyak 3000 dari 6000 bahasa di dunia hampir punah, sebagian besar milik etnis minoritas (Republika, 24/9/14). Menurut Direktur Unesco Sheldon Shaefffer bahwa 96 persen dari bahasa yang hampir punah (3000 bahasa) itu hanya digunakan oleh 4 persen populasi dunia. Lebih parahnya menurut data dari Ethnologue Languages of theWorld melaporkan bahwa untuk kawasan Asia Tenggara terdapat 527 bahasa terancam hampir punah. Sedangkan di Indonesia menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa dari 746 bahasa daerah yang ada di tanah air sebanyak 169 bahasa terancam punah dengan kondisi jumlah penutur di bawah 500 orang, sudah tua-tua serta tidak ada generasi muda pengganti dan berada di lokasi terpencil
Belajar dari dasar itu adalah memakai bahasa tersebut sehari-hari. Ini adalah langkah awal untuk memahami bahasa. Yang terpenting kedua adalah, setelah memahami makna seseorang mampu memberi pemahaman pada orang lain. Seperti dia memberi pemahaman pada anak usia enam tahun. Jika nantinya bahasa daerah tinggal catatan sejarah, maka itu juga tetap penting. Karena mereka yang butuh pasti mencari sampai ke akar. Jika nanti bahasa daerah sudah tak lagi terdengar, tapi tetaplah ada dokumentasinya sehingga generasi selanjutnya dapat belajar dari masa sebelumnya. Oleh karena itu bahasa daerah tetaplah penting untuk dilestarikan

Sumber referensi:
Susiati, S. (2020). Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah.
Wiyanti, S., Fadilah, A., & Sugito, N. T. (2019, January). Pemetaan Bahasa Daerah Sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa. In Seminar Nasional Menduniakan Bahasa dan Sastra Indonesia.