Bagaimanakah dinamika perkembangan naskah Jawa-Islam (naskah Jawa bercorak ke-Islaman) di Kasunanan Surakarta kisaran abad ke-18 hingga 19 M?

image
sumber gambar: langgar.co & datatempo.co

Jawa dan Islam kerap terdikotomikan. Setidaknya itulah anggapan banyak kalangan. Praktik ber-Islam Jawa pun sering mendapat label sinkretis dan menyimpang.

Terkait hal itu, melalui buku Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa, Nancy (2020) memberikan perspektif berbeda bahwa hadirnya pendikotomian, label sinkretis, label menyimpang, dan berbagai label negatif lain tentang Jawa-Islam sebagai produk kolonial yang sengaja dicipta guna kepentingan kolonial.

Gayuh dengan hal tersebut, apabila kita tinjau dari perspektif realitas pernaskahan Jawa, khususnya di Kasunanan Surakarta, menurut kalian, bagaimanakah dinamika perkembangan naskah Jawa-Islam (naskah Jawa bercorak ke-Islaman) di Kasunanan Surakarta kisaran abad ke-18 hingga 19 M?

Referensi
Florida, N., K. (2020). Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa. Yogyakarta: Buku Langgar.

2 Likes

Naskah lama Jawa abad 18 hingga abad 20 banyak menginterpretasi ulang kisah pewayangan dari masa Majapahit kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan kaidah-kaidah islam (Adisasmito, 2008: 55). Beberapa naskah yang diciptakan di abad tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengaruh islam pada saat itu. Menurut Pemberton dalam bukunya yang berjudul Jawa (2003) sebagian naskah yang dibuat pada abad ini memuat tentang dampak budaya kolonialitas Belanda terhadap kebudayaan Jawa, khususnya pada naskah-naskah keratin Jawa (Surakarta dan Yogyakarta).

Salah satu bukti naskah pada abad 18 di Surakarta adalah adanya serat Menak terjemahan dan gubahan Yasadipura I dimana dalam serat tersebut menceritakan tentang terbunuhnya Paman Nabi Muhammad yang berperang melawan kaum kafir Quraisy (Arifin, 2013: 323). Serat ini muncul tahun 1715 M pada masa pemerintahan pakubuwana I. Selanjutnya pada masa pakubuwana II muncul serat dewa ruci terjemahan dari Bagus Banjar. Serat tersebut menceritakan tentang tasawuf yaitu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Pada abad 19, naskah-naskah mulai bervariasi tidak hanya bernafaskan islam dan mistik Jawa tetapi terdapat juga pawukon, ajaran, seni dan sejarah (Sedyawati, 2001: 56). Salah satu bukti naskah pada masa ini adalah serat Wulang Reh. Wulang reh merupakan salah satu tulisan dari Pakubuwana IV yang masih dibaca sampai saat ini (Wiratama, 2021: 105). Dalam serat wulang reh ini menceritakan tentang ajaran untuk mencapai sesuatu. Ajaran tersebut berupa tembang yang berisi ajaran moral berlandaskan islam (Nurhayati, 2010: 43).

Referensi
Adisasmito. 2008. Komunikasi Visual dan Gaya Ilustrasi Naskah Lama di Jawa Periode 1800-1920. Jurnal Visual Art and Design, 2(1), 54-71.

Arifin, M. 2013. Ranggawarsita dan Kesusastraan Jawa Islam. Jurnal al-‘Adalah, 16(2), 319-330.

Nurhayati, E. 2010. Nilai-Nilai Moral Islam Dalam Serat Wulangreh. Jurnal Millah, 10(1), 43.

Pemberton, J. 2003. On the subject of “Java”. Yogyakarta: Meta bangsa.

Sedyawati, E., dkk. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.

Wiratama, R. 2021. Pakubuwana IV sebagai Maecenas: Tinjauan Kritis Beberapa Teks Pengetan Sejarah Wayang. Jurnal Jumantara, 12(1), 103-123.

1 Like

Pada abad ke-18 hingga 19 M merupakan masa peralihan dimana agama hindu-buddha dengan adat istiadat Jawa tergantikan dengan munculnya agama islam yang semakin meluas hingga masuk pada kalangan keraton. hal itu dibuktikan dengan ungkapan Wiratama (2021: 110) bahwa pada masa tersebut terjadi pertentangan antara “Islam” dan “Jawa” dimana secara umum para bangsawan dalam keraton Surakarta sangat sholih dan mempelajari islam secara mendalam, namun disisi lain bangsawan-bangsawan juga menolak wajah Islam yang lebih progresif. Karena kebudayaan Jawa dan adat istiadatnya sudah melekat, mereka tak ingin dengan hadirnya Islam masyarakat meninggalkan kebudayaan Jawa. Namun mereka juga tidak menolak kebenaran hadir dan berkembangnya islam.

Dengan keadaan seperti itu, para sastrawan atau pujangga yang mengembangkan karya sastranya di Surakarta turut andil dalam menangani masalah tersebut. Beberapa karya sastra yang ditulis untuk menjawab permasalahan yang sedang timbul. Beberapa karya sastra yang berkembang di Surakarta tersebut adalah:

  1. Serat Cabolek karya Yasadipura I yang merupakan pujangga pertama kerajaan Surakarta. Pesan yang ingin disampaikan dalam naskah tersebut adalah bahwa seseorang seharusnya tidak hanya mengutamakan syari’at yang merujuk pada nash islam, namun juga harus mengejar kesempurnaan hidup dengan merujuk pada warisan sastra budaya Jawa utamanya Serat Dewa Ruci

  2. Serat Centhini yang ditulis secara tim oleh kalangan para pujangga masa Susuhunan Pakubuwana IV, antara lain Yasadipura II, Ronggosutrasno, dan Sastrodipuro. Pada serat ini, menceritakan seorang Syekh Amongrogo yang hanya ber-i’tikaf di dalam masjid dan masyarakat sekitar hancur tak mengikuti syari’at karena sebagai Syekh hanya memperhatikan hubungan dengan Tuhan, mengejar ilmu kesempurnaan sejati untuk diri sendiri, tanpa memperhatikan hubungan dengan sesama manusia. Maka sang Raja (Sultan Agung di Mataram) marah dan menghukumnya.

  3. Suluk Seloka Jiwa yang ditulis oleh Ranggawarsita dengan pesannya bahwa umat islam diminta agar tidak mentrikhotomikan ajaran Islam, Hindu, maupun Buddha. Pada hakekatnya agama-agama itu sama namun bungkusnya saja yang beda.
    (Riyadi, 2013: 33-36)

Ranggawarsita juga menuliskan serat yang berjudul Serat Wirid Hidayati. Beliau ingin menyampaikan adanya tingkatan ma’rifat sesuai dengan yang telah diajarkan oleh para wali terdahulu (Sodikin, 2013: 309)

Pada masa pemerintahan Pakubuwana IV juga berkembang serat wulang dan Beliau juga menciptakan wayang-wayang sebagai tambahan tokoh pada cerita tertentu

Referensi:

Riyadi, M.I. 2013. Kontroversi Theosofi Islam Jawa dalam Manuskrip Kapujanggan. Al-Tahrir. 13(1): Hal. 21-41.

Sumarno. 2013. Sinkretisme Jawa-Islam dalam Serat Wirid Hidayat Jati dan Pengaruhnya terhadap Ajaran Tasawuf di Jawa Abad Ke-19.AVATARA e-Journal Pendidikan Sejarah. 1(2): Hal. 308-319

Wiratama. 2021. PAKUBUWANA IV SEBAGAI MAECENAS: TINJAUAN KRITIS
BEBERAPA TEKS PENGĔTAN SEJARAH WAYANG. Jumantara. 12(1): Hal. 103-124

1 Like