Bagaimana Sih Etika Berkonotasi yang Baik Itu?


Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl/HqhZ8jJTg8nVdTca6

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran kalian, jika mendengar seseorang berkata babu? Atau saat mendengar seseorang berkata kacung? Kebanyakan pasti akan langsung mengarah pada hal-hal yang berkonotasi negatif karena kata-kata tersebut memiliki nilai rasa yang terdengar kasar. Dalam berbahasa, tata cara atau etika itu sangat penting, sehingga tidak menimbulkan perspektif yang negatif nantinya. Lantas, bagaimana etika berkonotasi yang baik itu? Mari simak penjelasannya lebih lanjut.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etika berkonotasi, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari makna dan makna konotasi. Makna merupakan suatu pengaruh bahasa mengenai pemahaman atau persepsi seseorang terhadap maksud pembicara (Kridalaksana, 1984, dalam Suwandi, 2022). Makna ini dapat diartikan sebagai tujuan dari informasi yang disampaikan oleh pembicara kepada lawan bicaranya (Suhardi, 2015). Makna sendiri memiliki banyak ragamnya, salah satunya yakni makna konotatif/konotasi.

Makna konotasi merupakan makna yang berkenaan dengan emosi, yang memiliki nuansa halus ataupun nuansa kasar (Wijana dan Rohmadi, 2008, dalam Suhardi, 2015). Dalam hal ini, makna konotasi sangat berkaitan dengan nilai rasa dalam penggunaan kata-katanya. Makna konotasi dapat dimengerti melalui perasaan dan pikiran yang timbul saat pembicara mengucapkan suatu kata tersebut. Sebagai contohnya, seperti kata-kata yang saya sebutkan di awal tadi, yakni kata babu dan kacung. Saat seseorang mengatakan kalimat, “Dia sekarang bekerja menjadi babu di rumah teman lamanya.” Kata babu dalam kalimat tersebut tentunya akan menimbulkan nilai rasa yang terdengar kasar dan kurang pantas karena kata babu termasuk ke dalam konotasi kasar yang bermakna ‘pembantu rumah tangga’, akan lebih baik jika penyebutan babu diganti dengan sebutan asisten atau pramuwisma.

Makna konotasi ini biasanya muncul dalam retorika dan pemakaian bahasa, sehingga dalam penggunaannya harus disertai dengan kehati-hatian. Ada konotasi yang diperbolehkan untuk digunakan dalam pemakaian bahasa, tetapi ada juga konotasi yang tidak diperbolehkan atau tidak pantas untuk digunakan dalam pemakaian bahasa. Makna konotasi ini dapat berkaitan dengan berbagai nilai rasa dari pemakai bahasa; di antaranya rasa senang, jijik, kesal, marah, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan makna konotatif dapat memberikan asosiasi atau kesan-kesan yang bersifat subjektif dan emosional (Suwandi, 2022). Sehingga, setiap pembicara atau pemakai bahasa harus benar-benar memperhatikan lawan bicara dan situasi di mana ia menggunakan bahasa.

Namun, makna konotasi tidak hanya menjurus pada kata-kata yang kasar atau berkonotasi negatif saja. Makna konotasi ini memiliki beragam jenis, termasuk konotasi baik seperti pada kata-kata yang sering muncul dalam karya sastra (kalbu, bahtera, elok), konotasi yang netral (kata-kata berkonotasi yang biasanya digunakan oleh anak-anak dalam menyebut nama menjadi singkatan atau konotasi hipokoristik), dan konotasi yang bersifat ilmiah (anarki, antipati, formasi).

Selanjutnya, kata-kata berkonotasi negatif dan positif ini sering dijumpai dalam beberapa artikel, tajuk rencana, dan rubrik opini. Kata berkonotasi diperbolehkan digunakan dalam beberapa jenis tulisan tersebut dengan syarat tidak ada pemborosan kata. Sebagai contohnya, kata berkonotasi dari kutipan Rubrik Opini yang terdapat dalam Jawa Pos dengan judul “Bisa Ditunda, tapi Tak Dilakukan” dalam (Dia & Rosydah, 2021). “Peraturan pemerintah terkait televisi digital sangat krusial karena berpotensi menjadi daya tawar untuk kubu penyeimbang”, dari kutipan tersebut terdapat kata kubu yang termasuk konotasi positif karena memiliki arti ‘sekelompok pendukung’.

Dalam penggunaannya, ada beberapa jenis tulisan dan situasi yang tidak boleh menggunakan kata berkonotasi. Kata berkonotasi tidak boleh digunakan dalam tulisan berita koran, buku mata pelajaran di sekolah, tulisan karya ilmiah, seni berbicara (retorika) saat berpidato, penyampaian pengumuman, pembacaan berita, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan dalam berbagai tulisan dan retorika tersebut harus menggunakan bahasa denotatif (bermakna sebenarnya) karena menyangkut dengan penyampaian fakta-fakta. Hal inilah yang dimaksud dengan etika berkonotasi.

Dari pemaparan materi di atas, dapat diketahui bahwa makna konotasi sangat penting untuk dipahami dan dikuasai oleh pemakai bahasa karena dalam penggunaannya tidak bisa sembarangan. Penggunaan kata berkonotasi harus penuh dengan kehati-hatian karena dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Dalam penggunaannya, ada etika dan batas-batas yang harus dipatuhi, seperti tidak diperbolehkannya digunakan untuk tulisan yang bersifat ilmiah dan retorika yang harus menyampaikan fakta-fakta sesuai dengan makna sebenarnya. Oleh sebab itu, sebagai pembicara dan penulis yang terampil, sudah sepatutnya mampu menggunakan kata yang pantas sesuai dengan etika yang berlaku.

DAFTAR REFERENSI:

Dia, E. E., & Rosydah, S. (2021). Kajian Semantik: Makna Konotasi pada Rubrik Opini “Jati Diri” Harian Jawa Pos. Jurnal Pendidikan Tambusai , 5(2), 3508-3525.

Parera, J.D. (2004). Teori Semantik. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Suhardi. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Semantik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suwandi, S. (2022). Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.

Tarigan, H. G. (2021). Pengajaran Semantik. Edisi Digital. Bandung: Angkasa.