Terlahir menjadi seorang perempuan di Indonesia pada masa kolonial sangatlah mengenaskan. Keberadaan perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu dan sejenisnya untuk kaum laki-laki merupakan hal yang wajar terjadi pada masa penjajahan. Di masa penjajahan, perempuan dipandang begitu rendah karena pemerintah kolonial menerapkan aturan-aturan yang lebih condong menguntungkan kaum laki-laki. Sebagai contoh, pemerintah kolonial memberikan batasan terhadap akses pendidikan terhadap kaum pribumi dengan bukti hadirnya sekolah kaum bangsawan dan kaum rendahan. Konsep kehidupan kolonial mengenal peran perempuan pribumi hanya berotasi pada tiga hal yaitu, macak, masak dan manak. Para perempuan yang lahir pada kalangan bangsawan (ningrat) masih dapat merasakan pendidikan namun tidak lebih dari tingkat Europese Lagere School (ELS) atau setara sekolah tingkat dasar. Hal ini menjadikan adanya gap antara kesempatan perempuan dengan laki laki dalam hal menuntut ilmu. Hal tersebut dirasakan langsung oleh R.A Kartini. R.A. Kartini merupakan anak dari seorang bupati Jepara namun kesempatan yang dimilikinya tidak lebih mapun setara dibandingkan saudara laki-lakinya sehingga munculah perasaan R.A. Kartini untuk melakukan perlawanan guna menyetarakan kedudukan laki laki dengan perempuan.
R.A. Kartini menjadi sosok perintis gerakan sosial yang memperjuangkan hak perempuan untuk hidup lebih layak di masyarakat. Poetri mardika merupakan sebuah perkumpulan perempuan pertama yang terbentuk pada tahun 1912, berfokus dalam membimbing hingga memberikan bantuan beasiswa guna meningkatkan taraf hidup para perempuan dalam aspek pendidikan hingga kehidupan sosial. Perkumpulan ini juga menerbitkan media massa berupa majalah dengan judul yang sama dengan nama perkumpulan tersebut. Seiring berjalannya waktu, perkumpulan perempuan bertambah semakin banyak dan semakin luas orientasinya, terkhusus dalam menjangkau masyarakat kaum bawah untuk dapat berkehidupan bermasyarakat secara bebas.
Persitiwa pergerakan tersebut merupakan jalan keluar dari nasib kelam para perempuan pribumi. Apabila seandainya R.A. Kartini tidak memiliki cita-cita untuk menyamaratakan kedudukan kaum perempuan dengan kaum laki-laki maka, kemungkinan besar perempuan Indonesia dalam catatan sejarah hanya akan dilabelkan sebagai ”pelayan” atau hingga dapat tidak tertuliskan dalam sejarah karena keberadaannya tidak dianggap sepenting kaum laki-laki. Cita-cita R.A. Kartini untuk mendapatkan pengakuan kesamaan kedudukan perempuan dengan laki-laki telah tercapai sejak 1928 melalui Kongres Perempuan Indonesia. Hingga kini, kesetaraan derajat dari kaum perempuan dan laki-laki di Indonesia dapat terlihat dari adanya keterlibatan perempuan inspiratif dalam membantu tugas presiden dalam menjalankan pemerintahan. Ibu Retno Marsudi dengan nama lengkap Retno Lestari Priansari Marsudi, merupakan sosok Mentri Luar Negeri perempuan pertama di Indonesia. Beliau merupakan contoh dari Kartini masa kini yang telah mengharumkan nama Indonesia dikancah Internasional atas kinerjanya selama menjabat sebagai Mentri Luar Negri hingga memperoleh penghargaan sebagai agen perubahan di bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pada tahun 2017, yang diberikan oleh UN Women dan Partnership Global Forum (PGF). Selain itu, Kartini masa kini yang telah membanggakan Indonesia adalah Ibu Sri Mulyani Indrayani, seorang Mentri yang bertanggungjawab dalam bidang keuangan Indonesia dengan pengalaman prestasinya menjadi Managing Director dari Bank Dunia di tahun 2010 hingga 2016. Atas prestasinya tersebut, beliau meraih penghargaan sebagai Mentri Kueuangan terbaik pada Asia regional oleh Emerging Markets Forum di tahun 2006 serta berada dalam urutan ke-66 dari 100 perempuan berpengaruh di Indonesia pada majalah Forbes.
Kartini masa kini merupakan perempuan yang mampu mengupayakan cita-cita dari Ibu kartini untuk dapat terus merasakan pendidikan yang layak, mampu berani dan aktif dalam berkontribusi di lingkungan sosial, serta berjuang untuk kesetaraan gender. Di era modern ini, perempuan memiliki sejuta peluang karena kemajuan dan perkembangan dari teknologi dapat memberikan kemudahan bagi para perempuan untuk memperjuangkan kesempatan dalam memperoleh hak kehidupan yang lebih layak. Oleh karena itu, para perempuan saat ini hendaklah memanfaatkan seluruh kesempatan yang ada secara positif untuk terus bersemangat dalam berkarya dan meraih cita-cita setinggi-tingginya.