Ayo Diskusi mengenai Metode Rekonstruksi Fonemis

Bahasa Proto-Austronesia adalah bahasa asal (induk) yang mengalami perubahan dalam bahasa turunannya (Santoso, 2005: 191). Jika menilik dalam KBBI fonem sendiri adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Suatu fonem dapat terkategori kedalam fonem proto (purba), tak terlepas dari adanya teknik leksikostatistik. Leksikostatistik sendiri adalah teknik yang digunakan dalam menetukan tingkat hubungan di antara dua buah bahasa, dengan cara membandingkan kosa kata pada bahasa-bahasa tersebut yang kemudian dapat dilihat dan ditentukan tingkat kesamaan di antara kosa kata kedua bahasa (Crowley, 1992: 168) dalam (Karo, M. D. 2013: 3).

Sekalipun fonem proto tegolong dalam bahasa tua, namun tetap memiliki sistem tersendiri, baik dari pembendaharaan bunyi vokal dan konsonan serta distribusinya. (Ringota, 2020: 104). Fonem Protobahasa Ausronesia (PAN) sendiri memiliki empat buah vokal yaitu vokal tinggi depan */i/, vokal tengah sedang */e/, vokal tinggi belakang */u/ dan vokal rendah tengah */a/ (Blust 2013: 554) dalam (Santoso, 2005: 191). Penemuan kaidah perubahan bunyi (fonem) bahasa proto dalam bahasa-bahasa yang dilahirkannya merupakan salah satu hasil yang diperoleh dan kegiatan ilmu perbandingan bahasa.

Beberapa fonem bahasa Austronesia (fonem proto) masih dapat dilihat bentuknya secara utuh dalam fonem bahasa Madura modern. Bentuk protobahasa Austronesia yang digunakan mengambil konstruksi protobahasa Austronesia yang diajukan oleh Dempwolff (1938), Dyen (1953) dan Dyen dan Mcfarland (1970), adapun fonem-fonem protobahasa Austronesia (PAN) yang retensif dan tetap digunakan secara utuh baik itu konsonan maupun vokalnya dalam bahasa Madura modern adalah: (1) a > a (43) * páqa? > pכkaŋ = paha, (2) *naqnaq > nana = nanah, (3) * aŋka > angka? = angkat (Azhar, 2010: 11).

Referensi:
Azhar, I. N. (2010). Jejak Protobahasa Austronesia Pada Bahasa Madura. Jurnal METALINGUA Volume , 8 (1).
Karo, M. D. Leksikostatistik dan Glotokronologi Bahasa Batak: Hubungan Kekerabatan Bahasa Batak Dialek Toba, Simalungun. doi: https://doi.org/10.26499/mm.v11i1.820
Ritonga, S. R. L., Dardanila, D., & Gustianingsih, G. (2020). Kekerabatan Bahasa Angkola, Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba. Kode: Jurnal Bahasa , 9 (3). doi: Kekerabatan Bahasa Angkola, Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba | Ritonga | Kode : Jurnal Bahasa
Santoso, T. (2005). Refleks fonem proto Austronesia pada bahasa Aceh. Diksi , 12 (2). doi: REFLEKS FONEM PROTO AUSTRONESIA PADA BAHASA ACEH | Santoso | Diksi

1 Like

Keraf (1996) menyebutkan bahwa untuk menentukan fonem proto yang sama menurunkan satu perangkat korespondensi dalam bahasa kerabat itu.

Fonem dapat dikategorikan menjadi proto atau purba ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu distribusi fonem yang paling banyak merupakan sebuah fonem proto. Selain itu distribusi geografis yang luas. Selanjutnya, fonem hanya dapat melahirkan perangkat korespodensi fonemis.

Contoh hair (Inggris), haar (Belanda), haar (Jerman) har (Swedia) har (Nowegia)
Korespondensi fonemis dalam kata rambut pada bahasa-bahasa tersebut yaitu /h - h - h - h - h/.

Sumber: Keraf, G. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

1 Like

Menurut Bynon (dalam Fernandez, 1981:7), ia mengungkapkan bahwa para ahli  bahasa Indo Eropa berhasil melakukan pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa  Indo Eropa. para ahli bahasa tersebut berusaha merekonstruksi bahasa proto Indo Eropa sebagai suatu konstruksi yang ada. Konstruksi hipotesis tersebut, baik bentuk maupun urutan katanya, dapat mempresentasikan sejarah sistem fonem dari bahasa-bahasa berkerabat dalam kurun waktu yang nyata.

Asumsi ini akhirnya daoat diterima karena korespondensi antar-bahasa berkerabat dalam rumpun bahasa Indo Eropa dan juga, dapat diamati pula melalui kaidah-kaidah yang memperlihatkan hubungan gramatikal  pada bahasa-bahasa yang bersangkutan. Dalam studinya mengenai  bahasa Indo German, Jacob Grimm (dalam Fernandez, 1981) mengamati  korespondensi sistematis sejumlah fonem konsonan dari bahasa-bahasa yang tergolong dalam subkelompok itu. dia juga melihat adanya hubungan yang tetap antarfonem konsonan pada bahasa-bahasa itu sehingga dapat diasumsikan bahwa unsur-unsur kebahasaan yang merupakan  peninggalan dari bahasa purba sampai sekarang secara kompleks masih tersimpan dalam kosakata bahasa-bahasa sekerabat.

Selasaras dengan hal itu, Bynon mengungkapkan, apa yang telah dicapai oleh studi perbandingan bahasa Indo Eropa di bidang fonologi itu merupakan dasar asumsi yang mapan, yang diterima secara umum di kalangan para ahli perbandingan  bahasa, bahwa tolok ukur utama penentuan kekerabatan antarbahasa  lazimnya ditentukan oleh komponen fonologis. Tataran jenis ini, oleh  kaum Neogramarian dipandang sebagai tataran yang secara otonomi  terpisah dari tataran gramatikal, yang berarti kaidah-kaidah fonologis  itu dibentuk tanpa merujuk pada referensi tataran morfologi, sintaksis,  atau semantik (Fernandez, 1981:25).

Sumber : Sari, D. K. (2011). Refleksi Fonem Vokal Proto Austronesia dalam Bahasa Aceh dan Bahasa Melayu Dialek Langkat (Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif).

Menurut Keraf (1996), bahasa Proto adalah bahasa tua yang menurunkan
sejumlah bahasa-bahasa yang sekerabat:
misalnya bahasa Proto-Austronesia adalah
bahasa purba dari bahasa-bahasa Indonesia.
Bahasa Proto Austronesia
merupakan nama sebuah rumpun bahasa yang mendiami wilayah daratan Asia Tenggara. Selanjutnya, bahasa Proto Austronesia ditulis (PAN). Rumpun
bahasa Austronesia dikelompokkan
menjadi dua sub-rumpun, yaitu sub-rumpun Austronesia Barat (bahasa-bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa Melayu) dan sub-rumpun Austronesia Timur (bahasa- bahasa Oseania atau bahasa-bahasa Polinesia).

Referensi: PERUBAHAN BUNYI BAHASA PROTO-AUSTRONESIA KE DALAM
BAHASA MELAYU DIALEK TAMIANG (BMDT). Oleh:
Halimatussakdiah1
, Dwi Widayati2

Menurut saya, suatu fonem terkategorikan menjadi fonem proto (purba) jika dalam fonem tersebut terdapat distribusi kata yang dominan. Tentunya, dalam mengehui hal tersebut dibutuhkan metode pengelompokan bahasa, yaitu dengan melihat leksikon dengan metode leksikostatistik.
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurlatif dkk., (2017) menganilisis fonem proto melalui langkah-langkah rekontruksi, antara lain:

  1. Menyusun kata-kata sepadan di antara varian-varian.
  2. Menentukan kata-kata sekognat yang terdapat dalam kelompok bahasa.
  3. Merekonstruksi tiap fonem yang terdapat dalam pasangan
    kata yang sama diperbandingkan.

Ilustrasi (contoh) dalam penentuan fonem proto, misalnya terdapat fonem yang distribusinya dominan pada korespondesi /k/ ditetapkan sebagai fonem /*k/ yang diasumsikan sebagai refleksi dari fonem proto kelompok bahasa. Jika masih ditemukan korepondensi berlainan, maka belum dapat ditetapkan foonem protonya.

Referensi
Muhammad Nurlatif, Asrul Nazar, & Hamzah A. Machmoed,. (2017). Rekonstruksi Fonem Proto Kelompok Bahasa Cia-Cia: Linguistik Historif Komparatif. ELS-JISH, 14.

1 Like

Fonem proto adalah fonem purba yang dapatmenurunkan satu fonem atau lebih dalam bahasa- bahasa modern atau bahasa sekarang ini .Fonem proto dapat menggunakan teknik pengelempokan bahasa yaitu leksikostatistik, dan menurut saya mengapa fonem tersebut dapat dikategorikan menjadi fonem purba karena dalam Perubahan dan perbedaan yang berasal pendekatan fonologi berbentuk struktural generatif hal ini yang membuat ahli fonologi mengulang kajian penelitian semula dapatan kajian lalu agar hasil kajian mereka sentiasa diringkas dan kini dapat bersesuaian dengan perkembangan semasa yang berlaku (masa purba atau sekarang).Proses ini bisa terjadi secara bertahap dan tidak bisa langsung terjadi sekaligus .
Contohnya:
merekonstruksi vokal dan diftong bahasa Melanau Purba (BMLP) yang wujud di SarawakKehadiran fonem-fonem purba ini, iaitu fonem vokal atau fonem diftong terjadi secara teratur dan dapat diramalkan. Keberadaan beberapa ciri sporadik pada fonem vokal, misalnya BMP* i,* u,* o,, a, dan fonem diftong, iaitu*- w,-aw,-aj,-ej, uj, dan*-oj pada distribusi yang tertentu adalah satu ciri yang menggambarkan bahawa fenomena yang terjadi masih baru dan sulit dapat diperjelaskan.

Referensi :
FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN FONEM KOSAKATA SERAPAN BAHASA SANSKERTA DALAM BAHASA BALI A. Ayu Mita Prihantika Putri Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
Inventori Fonem Konsonan Dialek Melayu Kuching Sarawak Saidatul Faiqah Samasul
ISSN 1823-9242 Jurnal LinguistikVol.17 (1) Jun. 2013 (10-18)

Bahasa Proto adalah bahasa tua yang mewariskan sejumlah bahasa-bahasa yang masih berkerabat: Contohnya bahasa Proto-Austronesia yang merupakan bahasa purba dari bahasa-bahasa di Indonesia (Keraf, 1996). Selain itu, Keraf (1991) juga berpendapt bahwa bahasa-bahasa berkerabat yang berasal dari proto yang sama akan memperlihatkan kesamaan-kesamaan seperti berikut:

  1. Kesamaan dalam sistem bunyi (fonetik) dan susunan pada bunyi (fonologis);
  2. Kesamaan dalam morfologis, yakni kesamaan bentuk kata dan juga kesamaan bentuk gramatikalnya;
  3. Kesamaan dalam sintaksis, yakni kesamaan hubungan antara kata-kata yang ada dalam sebuah kalimat.
    Contoh:
    Keras (arti), hárdus (bahasa Gotik), hárθr (bahasa Eslandia Kuno), hárd (bahasa Inggris Kuno), hárd (bahasa Saksen Kuno), hárt (bahasa Jerman Tinggi Kuno). Jadi korespondensi dari kata keras (bahasa Indonesia) dalam bahasa-bahasa tersebut adalah/h - h - h - h - h/.

REFERENSI:
Keraf, Gorys. (1991). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Gorys. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.

Saya berpendapat bahwa secara singkat suatu fonem dapat dikategorikan menjadi fonem proto (purba) ketika fonem tersebut dapat ditelusuri fonem-fonem kerabatnya sehingga dapat diketahui dan ditelusuri kembali bentuk tuanya. Kemudian, untuk menelusuri apakah fonem tersebut masuk ke dalam kategori fonem proto (purba), maka diperlukan langkah-langkah seperti yang dilakukan Keraf (1984:60) untuk menelusuri kekerabatannya. Teknik yang dapat dilakukan ialah dengan menerapkan rekonstruksi fonemis. Pertama-tama, fonem yang akan ditelusuri, dibandingkan terlebih dahulu dengan pasangan-pasangan kata dalam bahasa kerabat. Hal ini bertujuan untuk menemukan korespondensi fonemis dari tiap fonem yang membentuk kata.
Fenomena yang dapat mewakili rekonstruksi fonem ini terlihat pada pembentukan kata “ayah”. Dalam bahasa Gotik kata “ayah” adalah fádar, Eslandia kuno fá6ir, Inggris faéder, Saksesn Kuno fáder, dan Jerman Tinggi fáter. Dalam fenomena tersebut, terlihat bahwa adanya kekerabatan antarfonem. Selain itu, fenomena tersebut juga menunjukkan adanya kemungkinan korespondensi fonemis terkait dengan fonem pembentuk kata “ayah”

Keraf, G. (1984). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

1 Like

Menurut saya fonem dapat dikelompokkan menjadi, fonem proto kelompok BCc diperoleh fonem proto vokal sebanyak 5 buah, yaitu /*i, *u, *e, *o, *a/. Berdasarkan posisinya proto fonem vokal /*i/ ialah vokal tinggi depan, /*u/ ialah vokal tinggi belakang, /*e/ ialah vokal tengah depan, /*o/ ialah vokal tengah belakang, dan /*a/ ialah vokal rendah tengah. Distribusinya proto fonem vokal di atas, dapat hadir pada semua posisi, yaitu: posisi awal, tengah, dan posisi akhir.
Proto fonem konsonan kelompok BCc diperoleh sebanyak 17 buah, yaitu /*p, *b, *t, *c, *j, *k, *g, *ɖ, *b̑ , *β, *s, *h, *l, *m, *n, *ŋ, *R/. Berdasarkan posisinya proto fonem konsonan /*p/ ialah bilabial plosif tak bersuara, /*b/ ialah bilabial bersuara; /*t/ ialah plosif alveolar tak bersuara; /*c/ ialah plosif palatal tak bersuara, /*j/ ialah plosif palatal bersuara; /*k/ ialah plosif velar tak bersuara, /*g/ ialah plosif velar bersuara; /*b̑ / ialah implosif bilabial bersuara, /*ɖ/ ialah implosif retrofleks bersuara; /*β/ ialah frikatif bilabial bersuara, /*s/ ialah frikatif alveolar tak bersuara, /*h/ ialah frikatif glotal tak bersuara; /*m/ ialah nasal bilabial bersuara, /*n/ ialah nasal alveolar bersuara, /*ŋ/ ialah nasal velar bersuara, /*l/ ialah lateral alveolar bersuara; dan /*R/ ialah trill ulular bersuara. Distribusi proto konsonan di atas, dapat hadir pada semua posisi Proto fonem gugus konsonan prenasal sebanyak 6 buah, yaitu /*mp, *mb, *nt, *nd, *nc, *ŋk/. Berdasarkan posisinya proto fonem gugus konsonan /*mp/ ialah prenasal plosif tak bersuara, /*mb/ ialah prenasal plosif bilabial bersuara; /*nt/ ialah prenasal plosif alveolar tak bersuara, /*nd/ ialah prenasal alveolar bersuara; /*nc/ ialah prenasal plosif palatal tak bersuara, dan /*ŋk/ ialah prenasal plosif velar tak bersuara Pengelompokan BCc terbagi atas dua kelompok, yaitu: kelompok pertama adalah tahowaka, yakni: varian Takimpo (tko), Wabula (wba), Holimombo (hmo) dan varian Kondowa (kda), sedangkan kelompok kedua adalah loliwiwoka, yakni varian Laporo (lpo), Lapoɖi (lpi), Wakaokili (wki), Wolowa (wlw) dan varian Wasaga-Kancinaa (wk). Kedua kelompok varian tersebut dipertalikan pada tingkat 76,7%.

Referensi:
Nazar, Asrul., Machmoed, Hamzah., Nurlatif, Muhammad. (2014). REKONSTRUKSI FONEM PROTO KELOMPOK BAHASA CIACIA: LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF. Universitas Hasanuddin: Makasar.

Suatu fonem dapat disebut fonem proto (purba) melalui leksikonnya. Mahsun (dalam Wartono, 2013: 64) menggambarkan leksikostatistik sebagai pengkategorian dalam suatu bahasa dengan melakukan penghitungan prosentase kerabat. Leksikostatistik mendasarkan kajiannya terhadap kosakata dasar. Berdasarka empat kriteria, a) pasangan itu identik, b) pasangan itu memiliki korespondensi fonemis, c) kemiripan secara fonetis dan d) satu fonem berbeda. Fonem proto yaitu fonem purba yang menurunkan satu fonem atau lebih dalam bahasa-bahasa sekarang (Keraf, 1984: 73)
Contohnya yakni kata “ikan” dalam bahasa Gotik adalah fisks, Eslandia Kuno fiskr, Sakson Kuno fisk, Jerman Tinggi Kuno fisk, dan Inggris Kuno adalah fisk.

Rujukan:
Keraf, G. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suatu fonem dikategorikan sebagai fonem proto (purba) dapat dilihat dari leksikostatistiknya. Bahwasanya metode itu sangat memiliki peran penting sebagai teknik pengelompokan bahasa yang erat kaitannya dengan peneropangan kata-kata. Pengelompokan dan rekonstruksi dapat diperoleh kejelasan hubungan kekerabatan dan keseasalan sesuai dengan jenjang struktur dan silsilah kekerabatan bahasa.

Ino, L. (2015). PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 365-378.

Untuk menentukan suatu fonem terkategorikan dalam fonem proto (purba) langkah pertama yang harus dilakukan yaitu membandingkan pasangan-pasangan suatu kata dalam berbagai bahasa kerabat untuk menemukan korespondensi fonemis dari masing-masing fonem yang membentuk tiap kata kerabat. Dengan ditemukannya korespondensi fonemis maka dapat diperkirakan fonem proto tertentu yang dianggap menurunkan fonem-fonem yang berkorespondensi itu.

Suatu fonem dapat dikategorikan dalam fonem purba dapat dilihat dari kaidah perubahan bunyi Bahasa yang satu dengan Bahasa yang lain. Kemudian melakukan rekonstruksi Bahasa tersebut sehingga akan ditemukan kekerabatan Bahasa tersebut dengan proto Bahasa.

untuk menerapkan prinsip rekonstruksi fonemis, pertama diadakan dahulu perbandingan pasangan-pasangan kata dalam pelbagai bahasa kerabat dengan menemukan korespondensi fonemis dari tiap fonem yang membentuk kata kerabat tersebut. dengan menemukan korespondensi fonemisnya, dapat diperkirakan fonem proto mana yang kira-kira menurunkan fonem-fonem yang berkorespondensi tersebut. bagi tiap perangkat korespondensi kemudian dicarikan suatu etiket pengenal untuk memudahkan referensi. etiket pengenalan ini tidak lain adalah fonem proto tadi yang dianggap menurunkan perangkat korespondensi fonemis yang terdapat dalam bahasa-bahasa kerabat. fonem ini biasanya diberi tanda asterik (*). untuk menentukan fonem proto yang mana menurunkan satu perangkat korespondensi dalam bahasa kerabat itu, perlu diperhatikan juga beberapa faktornya.

contoh penentuan fonem proto :
kata “ikan” dalam bahasa Gotik adalah Fisks, Eslandia Kuno Fiskr, Jerman Tinggi Kuno fisk, dan Inggris Kuno adalah fisk. data tersebut menunjukan adanya kemungkinan korespondensi fonemis yang meliputi semua bahasa dalam fonem pembentuk kata “ikan”.

referensi :
Keraf, (G). 1984. Linguistik Bandingan Historis . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.