Awal Mula Timbulnya Bahasa

Para ahli-ahli purbakala menemukan sebuah temuan arkeologis di beberapa tempat yang memperkirakan bahwa adanya kehadiran makhluk yang mirip manusia (hominoid) sudah ada beberapa juta tahun yang lalu. Makhluk ini sejenis makhluk yang memiliki bentuk mirip seperti manusia, tetapi kekurangan ciri-ciri tertentu. Ada yang menganggap bahwa hominoid ini sudah termasuk dalam genus Homo, yang terdiri dari bermacam-macam homo, tetapi masih berbeda dari homo spasiens, sebagai primat yang sudah mengalami pertumbuhan sempurna. Sekitar satu juta tahun yang lalu, hominoid sudah menemukan kebudayaan yang masih primitif, nah dari situlah mereka beranggapan seharusnya sudah ada bahasa karena bahasa merupakan pra-syarat bagi pewaris tradisional dan pertumbuhan kebudayaan.

Awal bahasa pada masa hominoid ini disebut dengan pra-bahasa, namun bahasa yang sesungguhnya ada setelah zaman itu. Tapi tidak ada bukti yang menunjang anggapan itu, atau yang memungkinkan dalam menyusun suatu evolusi perkembangan manusia. Berdasarkan kesimpulan dr. Jacob bahwa manusia Pithecanthropus sudah bisa berbahasa, yang mana dilihat dari bentuk badan yang tegak meskipun lekukan leher yang belum sempurna. Menurut dr. Jacob, badan tegak merupakan faktor yang sangat penting untuk memungkinkan adanya saluran suara yang sesua untuk berkomunikasi verbal. Dengan demikian, untuk memperkuat dugaan-dugaan tersebut ada beberapa teori yang membahas mengenai hal tersebut.

Teori pertama yaitu teori tekanan sosial yang dikemukakan oleh Adam Smith. Teori ini bertolak dari anggapan bahwa manusia timbul karena manusia primitif dihadapkan pada kebutuhan untuk saling memahami. Teori ini tidak mempersoalkan bahwa fisik manusia primitf sebenarnya berkembang secara perlahan-lahan, sehingga kemampuan berbahasa juga akan bergembang secara perlahan-lahan. Selain itu, Adam Smith menggambarkan dalam teorinya itu seolah-olah manusia tiba-tiba sudah mencapai kesempurnaan fisik yang membuat kapasitas mentalnya berkembang.

Teori kedua yaitu teori onomatopik atau ekoik (imitasi bunyi atau gema) yang dikemukakan oleh J.G. Herder. Teori ini mengatakan bahwa objek-objek dberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan objek tersebut. Objek yang dimaksud adalah bunyi-bunyi binatang atau peeristiwa alam. Manusia yang berusaha meniru bunyi anjing, ayam, desis angin, dan sebagainya akan menyebut objek-objek atau perbuatannya dengan bunyi-bunyi itu. Dengan cara ini terciptalah kata-kata dalam bahasa. Seorang penganut lain, D. Whitney mengatakan bahwa dalam setiap pertumbuhan bahasa, akan timbul kata baru yang dimulai dari anak-anak yang berusaha menirukan bunyi kereta api, bunyi mobil, dan sebagainya.

Berbeda halnya dengan ahli lain yaitu Lefevre yang berpendapat bahwa binatang-binatang memiliki dua elemen bahasa yang penting yaitu teriakan (cry) refleks dan spontan karena emosi atau kebutuhan, dan teriakan sukarela untuk memberi peringatan, menyatakan ancaman atau panggilan. Yang terpenting dalam peristiwa ini bahwa suatu bunyi yang dihasilkan oleh suatu makhluk tanpa makna, ditiru dan dipakai oleh manusia untuk membuju makhluk itu.

Selanjutnya yaitu teori interyeksi dimana teori ini bertolak dari suatu asumsi bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran instinktif karena tekanan-tekanan batin,perasaan mendalam, dan juga rasa sakit yang dialami manusia. Penganut teori ini biasanya tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana caranya bahasa itu muncul dalam kenyataan. Banyaknya para penelitii yang berpendapat mengenai teori ini. Namun secara keseluruhan dalam kenyataannya, teori ini ada persamaan dengan teori onomatopik yang mana manusia akan mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu untuk menyatakan kejijikan, keheranan, dan sebagainya dengan ujaran-ujaran tertentu, yang saat ini dikenal dengan sebutan interyeksi atau kata seru.

Ada yang lebih menarik lagi dari teori-teori selanjutnya. Pada teori ini ada seorang tokoh yang mengkritik pendapat sarjana-sarjana lain tentang awal mula bahasa. Tokoh tersebut adalah Max Muller yang mengkritik dan menolak teori onomatopik dan interyeksi. Sebab pada saat itu, ia mengajukan suatu teori lain mengenai asal-usul bahasa yang disebut teori nativistik atau teori tipe fonetik. Pada intinya, dasar teori ini sebuah asumsi bahwa terdapat suatu hukum yang meliputi hampir seluruh alam ini. Hukum tersebut seperti bahwa semua barang itu ketika dipukul akan berbunyi dengan bunyian yang khas. Karena bunyi-bunyi yang khas itu manusia lalu memberikan responnya atas bunyi tersebut.

Pada teori Yo-He-Ho akan diterangkan bahwa Muller sama sekali tidak berusaha untuk menjelaskan dari mana munculnya teori di atas, yang mana asal usu tipe fonetiknya yang kurang jelas. Dikarenakan teorinya yang tidak terlalu jelas sehingga menimbulkan banyak salah paham. Namun pada akhirnya ada sebuah kejelasan mengenai teori tersebut yang tentunya dilancarkan oleh Noire seorang sarjana filologi Prancis. Noire menjelaskan bahwa orang-orang dulu atau nenek moyang kita itu selalu melakukan kegiatan yang berat sehingga mengakibatkan usaha pelepasan pernapasan yang keras. Pelepasan melalui pernapasan ini menyebabkan perangkat mekanisme pita suara bergetar dengan bermacam-macam cara. Karena getaran itu timbullah bunyi ujaran. Sebab itu, bunyi-bunyi yang dikeluarkan pada saat mengerjakan kegiatan yang berat itu secara khusus akan dipakai pula untuk menyebut perbuatan itu. Oleh karena itu teori ini dijuluki dengan sebutan Yo-he-ho.

Kemudian teori isyarat yang diajukan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikologis yang terkenal dalam abad XIX. Teori ini tentang asal usul bahasa didasarkan pada hukum psikologi, yaitu bahwa tiap perasaan manusia mempunyai bentuk ekspresi yang khusus. Bila diadakan pengamatan secara cermat atau ekspresi-ekspresi itu, maka akan tampak bahwa tiap ekspresi akan mengungkapkan perasaan tertentu yang dialami oleh seseorang. Bahasa isyarat timbul dari emosi dan gerakan-gerakan ekspresif yang tak disadari yang menyertai emosi. Wundt juga mengatakan bahwa bahasa isyarat adalah basa primitif, tetapi ia sama sekali tidak menegaskan bahwa bahasa artikulatoris (bahasa ujaran) berkembang dari bahasa isyarat.

Jespersen, seorang filolog Denmark sudah membuat sebuah hipotesa dari teori-teori sebelumnya. Hipotesa itu diuraikan dalam tiga bidang penelitian yaitu bahasa anak-anak, bahasa suku-suku primitif, dan sejarah bahasa-bahasa. Tak hanya itu saja, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa “bahasa primitif” menyerupai bahasa anak-anak sebelum ia merangkaikan bahasanya dalam pola bahasa orang dewasa. Bahasa timbul sebagai permainan vokal, dan organ ujaran mula-mula dilatih dalam permainan untuk mengisi waktu senggang. Suatu bahasa akan tumbuh dalam wujud ungkapan-ungkapan yang berbentuk setengah musik, yang tak dapat dianalisa. Dengan demikian, Jespersen menganggap bahwa bahasa manusia mulanya lebih bersifat puitis, yang dikemas dalam sesuatu yang menggembirakan dan indah. Teori Jespersen ini berusaha untuk menjembatani kesenggangan antara vokalisasi emosional dan ideasional.

Dengan demikian, dapat disimpulkan dari beberapa teori di atas bahwa asal-usul bahasa pada hakikatnya berbeda-beda. Banyaknya para ahli yang memiliki teorinya sendiri utk membuktikan bahwa asal-usul bahasa itu seperti demikian. Namun, kita sebagai pembaca tidak perlu memilih dengan sesuka hati kita dalam mencari teori yang tepat mengenai asal-usul bahasa ini. Intinya dari beberapa teori tersebut kita sebagai pembaca jadi mengetahui sejarah asal-usul bahasa dapat terbentuk itu seperti apa.

Artikel di atas diambil dari buku “Linguistik Bandingan Historis” karya Gorys Keraf, halaman 1-11

Referensi
Keraf, G. (1996). “Linguistik Bandingan Historis, Jakata: PT. Gramedia