Sumber : wikipedia.org
Dewasa ini, dinamika kehidupan seakan penuh dengan angan perubahan. Tidak sulit untuk menemukan orang yang mengiginkan kemajuan. Apalagi di Indonesia, pemikiran tradisional yang selama ini kental mulai larut kedalam pemikiran yang lebih rasional. Optimisme untuk lebih maju seakan bukan lagi khayalan belaka yang hanya terucap sebagai kata. Semua lapisan seolah bersinergi, saling berkontribusi hingga muncul banyak sekali kolaborasi. Suara - suara yang muncul sebagai sebuah aspirasi tak lagi risih untuk didengar. Massifnya pembangunan semakin meyakinkan bahwa kita akan menuju kemenangan.
Perencanaan pembangunan tentu massif dampaknya untuk kelangsungan hidup masyarakat. Prioritas pembangunan tentu dilimpahkan pada kebutuhan masyrakatnya. Sedangkan masyarakat terdiri dari banyak lapisan baik dewasa, remaja, hingga anak – anak. Tentu kebutuhan juga harus tepat dan terpenuhi disetiap golongannya sesuai harapannya. Namun saya mengamati bahwa ketimpangan itu nyata adanya. Dominasi suara mengungkap fakta bahwa generasi tua lebih banyak mengambil peran didalamnya. Hal itu terlihat lagi pada aspirasi dari masyrakat golongan anak – anak. Yang selama ini dipandang bahwa aspirasinya hanyalah celoteh bocah dimasa bermainnya tanpa pemikiran yang pasti. Padahal sejatinya anak adalah bagian dari masyarakat, dan sama rata haknya dengan yang dewasa. Pemikiran tradisional itu seolah kembali mengental ketika kita menelisik permasalahan ini.
Anak – anak adalah calon penerus bangsa kedepannya. Mereka punya hak untuk sejahtera. Mereka bisa dan bahkan harus untuk menyampaikan aspirasinya. Hal itu tertuang pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Partisipasi Anak Dalam Pembangunan. Mengutip pendapat dari Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak, Endah Sri Rejeki menyebutkan, masih terdapat berbagai permasalahan dalam mengimplementasikan pemenuhan hak partisipasi anak dalam pembangunan di daerah, salah satunya adalah persepsi orang dewasa terhadap anak. “Orang dewasa kerap kurang percaya pada kemampuan anak, seperti pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan, anak tidak diberi kesempatan untuk bicara, walaupun diundang. Hal ini pun dapat menyebabkan anak kurang percaya diri,” tutur Endah.
Masih terdapat berbagai tantangan terkait pelibatan anak dalam proses pembangunan, diantaranya kehadiran anak dalam berbagai forum masih dimaknai secara simbolis atau sebagai pelengkap inklusivitas forum diskusi, belum meratanya pemahaman para pemangku kepentingan mengenai pentingnya suara anak di setiap tahapan pembangunan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, perlu kesadaran tinggi dari semua pemangku kepentingan dan semua masyrakat. Anak adalah pondasi utama sebuah bangsa. Kita perlu sadar untuk membangun pondasi secara kuat. Pembangunan yang baik untuk menunjang kehidupannya sehingga kelak bisa menuai generasi yang unggul untuk menahkodai bangsa ini. Pemikiran tradisional yang masih menganggap suara anak belum layak perlu untuk dilenyapkan. Setiap manusia punya perannya, walaupun belum untuk saat ini namun untuk yang akan datang tentu akan tiba saatnya untuk memutar roda mengambil perannya.
Namun akhir ini saya mengamati banyak hal yang sudah mulai dilakukan sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak partisipasi anak, seperti pembentukan Forum Anak ditingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, hingga desa. Terdapat pula program yang turut mendukung peningkatan partisipasi anak disetiap bidangnya. Harapan saya semoga hak partisipasi anak berupa aspirasi akan terus mengisi dan mewarnai setiap pembangunan di negeri ini.
Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/437167/pemda-minim-penuhi-hak-anak-dalam-pembangunan
Sumber:https://www.antaranews.com/berita/2311854/kemen-pppa-dorong-terpenuhinya-hak-partisipasi-anak-dalam-pembangunan
Sumber: https://peraturan.go.id/common/dokumen/bn/2011/bn59-2011.pdf