Asal Usul di Temukannya Bahasa

Bahasa menjadi salah satu ciri khas yang dipunyai oleh manusia sebagai alat komunikasi yang membedakan dengan makhul lain yang berada di bumi. Bahasa menjadikan manusia yang bermasyarakat, sebab bahasa merupakan sarana komunikasi untuk mengungkapkan pesan, ide-ide, keinginan, dan perasaan dari pembicara ke lawan pembicara (Herniti, 2010). Penggalian-penggalian yang dilakukan oleh arkeologis di seluruh tempat purbakala, memperkirakan bahwa kehadira makhluk yang mirip dengan manusia (hominoid) sudah ada beberapa juta tahun yang lalu. Makhluk hominoid merupakan makhluk yang termasuk dalam kelas yang mimiliki bentuk sangat mirip dengan manusia, namun terdapat perbedaan yang sepsifik, yaitu ukuran otak, bentuk wajah yang menonjol ke depan, dahi miring ke belakang, dan isi tengkoraknya berkisar antara 750-1300 cc. Hominoid inilah yang dianggap memberi peluang bagi hadirnya hominid awal, yaitu makhluk-makluk yang termasuk genus Homo, yang terdiri dari bermacam-macam homo, keculai homo sapiens sebab terdapat perbedaan dalam pertumbuhanya.

Terdapat petunjuk sekitar dua jutah tahun yang lalu, bahwa hominid telah mampu membuat dan menggunakan peralatan kasar dari batu, namun bukti adanya kebudayaan yang sesungguhnya baru diperoleh sekitar satu juta tahun yang lalu. Dengan ditemukannya kebudayaan yang sesungguhnya, memberi sugesti bahwa seharusnya sudah ada bahasa pada waktu itu, karena bahasa ialah pra-syarat bagi pewarisan tradisional dan pertumbuhan kebudayaan. Awal mula pertumbuhan bahasa yang tepat disebut pra-bahasa kemungkinan sudah ada pada hominid. Namun masih belum ditemukan bukti yang kuat atas anggapan tersebut (Keraf, 1996: 1).

Menurut Dr. Jacob, manusia Pthecanthropus sudah bisa berbahasa ditunjang oleh kenyataan siakap tegak yang ada pada tubuhnya. Meskipun lentik leher belum sempurna, namun dengan sikap tegak merupakan fator yang snagat penting untuk memungkinkan adanya saluran suara yang digunakan untuk berkomunikasi verbal. Berikut kesimpulan Dr. Jacob:

Dengan demikina kami berpendapat bahwa bahasa berkembang perlahan-lahan dari sistem tertutup ke sisitem terbuka antara 2 juta hingga ½ tahum yang lalu, tetapi baru dapat dianggap sebagai proto-lingua antara 100.000 hingga 40.000 tahuan yang lalu. Perkembangan yang penting baru terjadi sejak Homo Sapiens, tetapi perkembangan bahasa yang pesat barulah di zaman pertanaian (Jacob,1981: hal.85).

Belum ditemukannya data-data yang tertulis tentang timbulnya bahasa manusia dahulu kala, dengan begitu muncullah berbagai macam teori tentang timbulnya bahasa. Berikut ini adalah teori-teori penting yang dikemukakan untuk membuktikan asal mula timbulnya bahasa. Teori pertama adalah teori tekanan sosial. Teori tekanan sosial dikemukan oleh Adam Smith, teori ini bertolak dari anggapan bahwa bahasa manusia timbul dari manusia primitive yang dihadapkan pada kebutuhan saling memahami. Teori ini beranggapan bahwa fisik manusia primitif berkembang secara perlahan-lahan, sehingga kemampuan berbahanya juga akan berkembang secara perlahan-lahan. Adam Smith beranggapan tutur merupakan produk tekanan sosial, bukan hasil dari perkembangan manusia itu sendiri.

Selanjutnya ialah teori onmatopetik atau ekoik, teori ini ditemukan oleh J.G Herder. Teori ini menjelaskan bahwa obyek-obyek diberi nama sesuai bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh obyek tersebut. Obyek-obyek yang dimaksud adalah bunyi-bunyi binatang atau peristiwa alam. Banyak sekali yang menentang adanya teori ini, salah satunya adalah Sapir. Sapir beranggapan bawah ketidak logisan bahasa manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi terjadi hanya sekadar meniru bunyi makhluk yang lebih rendah, dia juga mengatakan esensi bahasa sangat sedikit bertalian dengan kata-kata imitasi (Sapir, 1921: hal.5-6). Walaupun terdapat kritik dari teori onomatopetik, teori ini memang ada unsur-unsur bahasa yang diciptakan manusia karena usaha meniru bunyi binatang atau gejala-gejala alam sekitarnya.

Teori Interyeksi mulai diluncurkan oleh sejumlah filsuf, antara lain Etienne Bonnet Condillac, dan diterima sebagain karena usaha Whitney. Teori ini bertolak dari suatu asumsi bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran instinktif karena tekanan-tekanan batin, perasaan yang mendalam dan rasa sakit yang dialami manusia. Kata lain dari teori ini adalah teori pooh-pooh. Berbeda dengan Teori Nativistik atau Tipe Fonetik yang ditemukan oleh Max Muller. Teori ini bersifat imitasi atau interyeksi. Teorinya didasarkan pada konsep mengenai akar yang lebih berifat tipe fonetik. Dalam teori ini menjelaskan bahwa kata ialah macam-macam impresi yang diambil dari perpaduan fonetik, dari peragaan dan perubahan-perubahan fonetik.

Teori Yo-he-ho teori yang ditemukan oleh Noire, teori ini beranggapan bahwa bahasa terjadi melalui kegiatan otot-otot yang kuat mengakibatkan usaha pelepasam melalui pernapasan secara keras. Pelepasan melalui pernapasan ini menyebabkan perangkat mekanisme pita suara bergetar dengan bermacam-macam cara. Karena getaran itu timbullah bunyi ujaran. Berikutnya adalah teori isyarat. Teori Isyarat ditemukan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikolog yang terkenal dalam abad XIX. Teori ini beranggapan asal mula bahasa didasarkan pada hukum pesikologi. Bahasa isyarat timbul dari dari emosi dan gerakan-gerakan ekspresif, seperti komunikasi gagasan-gagasan dilakukan dengan gerakan-gerakan tangan, yang membantu gerakan-gerakan mimetik (gerakan ekspresif untuk menyatakan emosi dan perasaan) wajah seseorang.

Teori permainan vocal dikemukan oleh Jesoersen, seorang filolog Denmark. Teori ini memadukan tiga unsur bidang penelitian di dalamnya, yaitu (1) bahasa anak-anak, (2) bahasa suku-suku primitife, dan (3) sejarah bahasa. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa primitife menyerupai bahasa anak-anak, sebelum merangkaikan bahasa menurut pola bahasa ornag dewasa. Bahasa mulai tumbuh dalam wujud ungkapan-ungkapn yang menyerupai musik. Jespersen dengan demikian beranggapan bahwa bahasa manusia mula-mula lebih bersifat puitis, dalam permaianan yang riang gembira, dalam cinta remaja yang ceria, dalam suatu impian yang romantic. Dengan demikian teori ini dapat menjebatani kesanggangan antara vokalisasi emosional dan ideasioanl.
Teori isyarat oral dikemukan oleh Sir Richard Paget dalam bukunya Human Speech (Keraf, 1996: 9). Teori ini memili banyak bukti dan bertolak dari jaman bahasa isyarat, untuk membuktikan bahwa ketika manusia mulai menggunakan peralatan, tangannya dipenuhi oleh barang-barang. Sehingga tangannya tidak dapat digunakan dengan bebas untuk berkomunikasi. Kemudian tibalah tahap yang paling penting yaitu ketika manusia melakukan isyarat dengan lidah, bibir dan rahang, maka udara yang dihembuskan melalui mulut (oral) atau lubang hidung akan mengeluarkan pula isyarat-isyarat yang dapat didengar sebagai ujaran berbisik.

Teori kontrol sosial diajuakn oleh Gracc Andrus de Languna. Menurut de Languna ujaran adalah suatu medium yang besar memungkinkan manusia bekerja sama. Bahasa merupakan upaya yang memngkordinasi dan menghubungkan macam-macam kegiatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Kontrol sosial yang berwujud teriakan binatang dihubungkan dengan tingkah laku yang sederhana dan kemampuan yang masih rendah dari species yang bersangkutan. Sedangakan Teori Kontak yang dikemukakan oleh G. Revest. Teori ini menyerupai teori tekanan sosial namun dalam bagian-bagian yang penting menyerupai teori kontrol sosial. Hubungan-hubungan sosial pada makhluk hidup memperlihatkan bahwa kebutuhan untuk mengadakan kontak satu sama lain tidak pernah memberi kepuasan antara individu-individu dari setia species.

Teori Hockeet-Ascher, teori ini diajukan oleh Charles F. Dalam teori ini dijelaskan lebih menyeluruh dengan memperhitungkan evolusi yang dialami oleh manusia. Dari ditemukan sistem call, bernajak ke pra-bahasa dan akhirnya menjadi bahasa. Pra-bahasa menjadi bahasa karena timbulnya kekembaran pada pola (duality of patterning), dengan demikian menjadikan pra-bahasa menjadi bahasa. Lahirnya sebuah bahasa yang seseungguhnaya berasal dari sistem call yang tertutup melalui tahap-tahap.

Didasarkan dari buku “Linguistik Bandingan Historis” karya Gorys Keraf, hal 1-15."

Daftar Referensi:
Karaf, Gorsy. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Garamedia.
Herniti, Ening. (2010). Bahasa dan Kelahirannya. Jurnal Addabiyyat, 9(1), 107-132.
Sapir, E. (1949). Language. New York: Hsrcout, Brace and Company.
Jacob, T. (1980). “Dapatkah Pithecantropus Bertutur?”. Analisis Kebudayaan, 1(1), 81-86.