Artikel Macam-macam Metode Rekonstruksi

Macam-Macam Teknik Rekonstuksi

  1. Rekonstruksi Fonemis
    Untuk menerapkan prinsip rekonstruksi fonemis, pertama-tama diadakan perbandingan pasangan-pasangan kata dalam pelbagai bahasa kerabat dengan menemukan korespondensi fonemis dari tiap-tiap fonem yang membentuk kata-kata kerabat tersebut. Dengan menemukan korespondensi fonemisnya dapat diperkirakan fonem proto mana yang kiranya menurunkan fonem-fonem yang berkorespondensi tersebut. Bagi tiap perangkat kemudian dicarikan suatu etiket pengenal untuk memudahkan referensi. Etiket pengenal ini tidak lain adalah fonem proto tadi yang dianggap menurunkan perangkat korespondensi fonemis yang terdapat dalam bahasa-bahasa kerabat. Fonem ini biasanya diberi tanda asterisk (*).
    Hal yang perlu diperhatikan:
    Fonem yang distribusinya dan distribusi geografisnya paling banyak dalam bahasa-bahasa kerabat dapat dianggap sebagai pantulan linear dari fonem proto.
    Fonem yang dianggap proto tersebut hanya boleh menurunkan satu perangkat korespondensi fonemis.
    Contoh penerapan rekonstruksi fonem dalam bahasa Ciacia.
    Bahasa Ciacia (BCc) tergolong dalam kelompok Autronesia, Melayu-Polinesia subrumpun Muna-Buton dengan populasi sebanyak 79.000. BCc merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat di bagian Selatan pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi Penutur BCc kini tersebar di tiga wilayah otonomi, yaitu: (1) Kabupaten Buton; (2) Kabupaten Wakatobi; dan (3) Kota Baubau (Konisi dan Hidayat, 2001). BCc adalah bahasa yang bertipe vokalik. BCc dituturkan oleh masyarakat Ciacia yang secara garis besar terbagi dalam empat subetnis, yaitu: Laporo, Burangasi, Wabula, dan Lapandewa. Keempat subetnis tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
    Langkah-langkah rekonstruksi ini dibuat berdasarkan fakta-fakta linguistik dari kelompok BCc, yaitu varian Takimpo (tko), Wabula (wba), Holimombo (hmo), Kondowa (kda), Laporo (lpo), Lapodi (lpi), Wakaokili (wki), Wolowa (wlw), dan varian Wasaga-Kancinaa (wk). Langkah-langkah kerja rekonstruksi, yaitu menyusun kata-kata sepadan yang berpotensi di antara varian-varian yang berkait. Selanjutnya, menentukan kata-kata serupa yang terdapat dalam kelompok BCc. Kata-kata yang digunakan dalam perbandingan bahasa adalah kata-kata yang serupa yang merupakan refleksi dari hasil pantulan sejarah warisan suatu sumber bahasa yang sama. Penentuan kata serupa dilakukan dengan melihat kesamaan bentuk dan makna dari kelompok bahasa tersebut. Terakhir, melakukan rekonstruksi tiap fonem yang terdapat dalam pasangan kata yang sama diperbandingkan. Rekonstruksi atau pemulihan fonem proto kelompok BCc dilakukan dengan membandingkan set korespondensi pada kata seasal dalam kata-kata berkerabat.

  2. Rekonstruksi Morfemis
    Rekonstruksi morfemis (antar bahasa kerabat) mencakup rekonstruksi atas alomorf-alomorf (rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua dalam satu bahasa). Dengan melakukan rekonstruksi fonemis maka berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis, yaitu dengan memulihkan semua fonem bahasa-bahasa kerabat sekarang sebagai yang tercermin dalam pasangan kata-katanya ke suatu fonem proto, maka sudah berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis (kata dasar atau bentuk terikat), yaitu menetapkan suatu morfem proto yang diperkirakan menurunkan morfem-morfem dalam bahasa-bahasa kerabat sekarang. Seperti halnya fonem proto, maka morfem proto juga ditandai dengan asterisk ().
    Contoh rekonstruksi morfemis pada bahasa Gorontalo:
    Rekonstruksi adalah pengembalian sebagai semula dapat diproses setelah fonem-fonem bahasa anggota kelompok Gorontalo dibandingkan. Pola yang diterapkan dalam perekonstruksian ini berdasar pada Keraf (1996: 65).
    Leksem atau perangkat kata seasal bahasa-bahasa kelompok Gorontalo yang terdiri atas bahasa Suwawa, Kaidipang, Bintauna, Bolango, Buol dan Gorontalo setelah direkonstruksi, menghasilkan bentuk proto (
    ) sebagai berikut:
    Konsonan : *p *t *k *q *b d ǰ *g mn *ŋ *s *l *L *w yY *(w) *(y)
    Pre-nasal : *mp *nt *ŋk *mb *nd *ŋg *ns
    Vokal : *i *u *e *o *a
    Tabel 3 Refleksi Etimon Rumpun Gorontalo
    Proto Austronesia (PAN)
    Arti
    Proto Gorontalo (PG)
    Suwawa (SWW)
    Kaidipang (Kai)
    Bintauna (Bin)
    Bolango (Bol)
    Buol (Bwl)

*amaq
‘ayah’
*amaq
qama
ama
i-yama
si-ama
ti-amo

*bukid
‘bukit’
*bakidu
buqido
βukiru
βuqiro
buqido
βukid

*Rakit
‘rakit’
*gakit
gaqita
gokito
kaito
gaqita
gokit

  1. Rekonstruksi Dalam
    Rekonstruksi dalam adalah rekonstruksi yang dilakukan dalam satu bahasa untuk mendapatkan bentuk-bentuk tuanya. Dalam hal ini kita hanya menggunakan bahan-bahan dari satu bahasa saja, yaitu rekonstruksi atas alternasi morfofonemis atau atas alomorf-alomorf suatu morfem.
    Rekonstruksi ini bertujuan untuk memulihkan suatu bahasa pada tahap perkembangan tertentu pada masa lampau, dengan tidak menggunakan bahan-bahan dari bahasa lain, melainkan hanya menggunakan data dari bahasa itu sendiri. Contoh rekonstruksi dalam, yaitu rekonstruksi bahasa Jawa: bahasa Jawa dialek Tengger, dialek Banyumas, dialek Solo, dialek Jawa Timuran dianalisis secara internal melalui rekonstruksi internal untuk menentukan proto bahasa Jawa.
    Rekonstruksi dalam dapat dilakukan karena beberapa kenyataan berikut dalam sebuah bahasa:
    a. Adanya alomorf
    Dalam bahasa Indonesia kita jumpai sejumlah bentuk kata seperti: berjalan, bermain, berdiri, belajar, berumah, dan sebagainya. Dalam linguistik bahasa Indonesia juga dikenal bentuk alomorf seperti ber-, bel-, be-, atau ter-, tel, te-. Dalam linguistik historis komparatif kita mempersoalkan bagaimana bentuk dasarnya pada masa lampau. Sesuai dengan prinsip rekonstruksi morfemis melalui rekonstruksi fonemis, kita dapat menentukan bentuk manakah yang merupakan proto dari alomorf tersebut. Berdasarkan kesederhanaan dan penghematan, dan melihat distribusi tiap alomorf, maka bentuk proto dari alomorf tersebut adalah */ber/ dan */ter/.
    b. Netralisasi
    Proses ni dapat ditunjukkan dengan proses berikut: dalam bahasa Jerman Modern memiliki sejumlah konsonan, yakni /p/, /t/, /k/, /b/, /d/, dan /g/. Keenamnya dapat muncul pada posisi awal dan tengah tetapi dalam posisi akhir hanya ada /p/, /t/, dan /k/. Biasanya dikatakan bahwa konsonan /b/, /d/, dan /g/ secara deskriptif mengalami proses netralisasi pada posisi akhir dan diganti dengan konsonan /p/, /t/, dan /k/. Kenyataan ini akan memberi peluang untuk menarik kesimpulan lebih jauh bahwa secara historis dalam bahasa Jerman yang lebih tua, konsonan /b/, /d/, dan /g/ harus muncul juga pada posisi akhir.
    c. Reduplikasi
    Reduplikasi merupakan peristiwa atau gejala lain dalam bahasa yang dapat dipergunakan untuk mengadakan rekonstruksi dalam. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, reduplikasi terjadi pada suku kata awal, seperti pada kata tangga—tetangga dan laki—lelaki. Reduplikasi melemahkan vokal pada suku kata awal sehingga menjadi /e/. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari tekanan kata yang ditempatkan pada suku kata kedua dari akhir. Dengan demikian rekonstruksi untuk kata-kata tersebut adalah *ta-tangga dan *la-laki. Secara historis tidak semua bentuk reduplikasi itu sudah ada sejak zaman prasejarah bahasa Melayu, ada juga yang merupakan hasil ciptaan selanjutnya.
    d. Bentuk infleksi
    Infleksi merupakan perubahan bentuk kata yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal, seperti nomina, pronomina, adjektiva, dan konjungsi. Contoh bentuk write dalam bahasa Inggris menjadi writes merupakan bentuk infleksi, karena perubahan bentuk kata namun masih menunjukkan hubungan gramatikal, yaitu sama-sama verba. Contoh kasus infleksi dalam bahasa Indonesia hanya terdapat dalam pembentukan verba transitif, yaitu dengan prefiks me- untuk verba transitif aktif, prefiks di- untuk verba transitif pasif tindakan, prefiks ter- untuk verba transitif pasif keadaan, dan prefiks zero untuk verba imperatif.

  2. Rekonstruksi Luar
    Rekonstruksi luar dilakukan terhadap dua bahasa atau lebih untuk menemukan bentuk-bentuk protonya. Contoh, membandingkan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura, dan bahasa Melayu sehingga dapat ditemukan bahwa bahasa-bahasa tersebut berasal dari bahasa yang sama, yaitu proto bahasa Melayu Jawa.
    Berdasarkan hasil dari penelitian kualitatif leksikostatistik yang dilakukan oleh Nothover maka diperoleh hubungan bahasa Melayu dan Madura lebih dekat. Maka, kedua bahasa itu dapat direkonstruksi terlebih dahulu dalam rekonstruksi luar.
    Disarikan dari buku “Linguistik Bandingan Historis” karya Gorys Keraf, halaman 60-75.
    Referensi
    Keraf, G. (1996). “Linguistik Bandingan Historis”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.