Apresiasi Sastra Terhadap Novel ‘Hujan Bulan Juni’ Karya Sapardi Djoko Damono Dengan Pendekatan Pragmatik

image

Kritik sastra yang merupakan salah satu cabang ilmu sastra ini biasanya berlaku untuk menghakimi suatu karya sastra. Namun selain untuk menghakimi suatu karya sastra, kritik sastra juga berperan untuk mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas. Hal ini didukung oleh pendapat Abrams (1981) yang menjelaskan bahwa kritik sastra adalah cabang ilmu yang mempelajari perumusan, klasifikasi, penjelasan, dan evaluasi karya sastra. Selain mengkritik, hal yang bisa dilakukan yaitu apresiasi sastra. Hornby (dalam Sayuti, 2000), secara leksikal istilah apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan, yang memberikan penilaian.

Apresiasi sastra memiliki beberapa kajian. Penelitian ini difokuskan untuk mengapresiasi sastra dalam kajian pragmatis. Objek dalam apresiasi sastra ini adalah novel berjudul Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Secara garis besar novel Hujan Bulan Juni berisi tentang kisah percintaan Sarwono dan Pingkan, berisi manis pahitnya hubungan keduanya. Dalam kalimat-kalimat yang diutarakan dalam novel tersebut memiliki gaya bahasa yang khas oleh Sapardi Djoko Damono. Maka peneliti mencoba mengungkapkan makna dari kalimat yang diutarakan dalam novel tersebut supaya pembaca lebih memahami alur ceritanya.

Pada artikel ini peneliti menyajikan beberapa aspek yang terdapat dalam novel tersebut. Contohnya aspek agama yang di ungkapkan dalama kutipan berikut.

“Kalau dalam percakapan sehari-hari ayahnya menyebut-nyebut Gusti atau Pangeran atau Kanjeng, apa sebenarnya acuannya. Dalam dunia orang Jawa, Yesus itu Gusti, namanya Gusti Yesus. Pangeran itu mengacu ke Tuhan, tetapi Tuhan juga disebut Gusti Allah. Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi.” (HBJ, 25).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa di lingkungan tempat tinggal Sarwono yaitu di Jawa saat menyebutkan Tuhan Yesus menurut umat Kristiani yaitu Tuhan saja maupun Gusti Allah. Sedangkan umat Islam menyebutkan Nabi Muhammad yaitu Kanjeng Nabi. Identitas asli Sarwono adalah beragama Islam. Namun dia tumbuh dan berkembang di daerah Jawa yang memiliki banyak keragaman sehingga menimbulkan toleransi. Kemudian novel ini juga menyajikan tentang peristiwa sejarah walaupun tidak terlalu mendetail namun sangat menambah pengetahuan. Berikut bukti kutipannya.

“Katsuo selalu juga membanggakan kota itu sebagai ibu kota Jepang sebelum pindah ke Tokyo. Hanya digeser suku katanya saja, Kyoto jadi Tokyo. Mirip Kartasura sebagai Ibukota Kerajaan Jawa di zaman lampau yang diubah menjadi Surakarta ketika pindah ke Desa Sala di pinggir Bengawan” (HBJ, 122).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa peralihan ibu kota di Jepang dari Kyoto menjadi Tokyo mirip dengan kejadian peralihan ibu kota kerajaan Jawa dari Kartasura menjadi Surakarta. Keduanya memiliki kemiripan nama dan sejarah.

Tidak lupa sang penulis, Sapardi Djoko Damono memberikan aspek pendidikan pada novelnya. “Ya, memang pekerjaan peneliti itu cari-cari masalah, tetapi juga sesekali harus berani menyadari bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan yang ditelitinya” (HBJ. 2015:6)

“Dalam keadaan apapun ia harus mencari data agar laporan bisa disusun tepat waktu meskipun selalu saja terlambat karena ini dan itu” (HBJ, 2015:6)

Berdasarkan dua kutipan tersebut ingin menyampaikan bahwasannya berkomitmen dalam mencari ilmu dan bekerja sangatlah dibutuhkan. Walaupun terdapat banyak rintangan dan cobaan dalam proses mencari ilmu akan tetapi dengan adanya bekal niat dan komitmen untuk menuntut ilmu dari awal akan membuat kita tetap berjalan maju tidak peduli apa yang menjadi rintangannya.

Pada novel Hujan Bulan Juni ini juga terdapat nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran untuk para pembaca novel ini yaitu nilai kesetiaan, nilai sosial budaya, nilai toleransi, dan nilai religius. Bukti terdapat nilai kesetiaan terletak pada bagian saat Ayah menasehati Sarwono bahwa dalam memilih pendamping hidup harus hati-hati supaya tidak menyesal. Ada beberapa faktor yang lebih penting didahulukan untuk memilih pendamping hidup. Misalnya taat beragama, dari lingkungan yang baik, penyabar, amanah, dan lain-lain. Kalimat tersebut dapat diambil pengajaran mengenai kesetiaan cinta sepasang kekasih karena pada dasarnya novel ini menceritakan hubungan percintaan yang dijalani oleh Sarwono dengan kekasihnya yaitu Pingkan.

Bukti adanya nilai budaya dapat kita ketahui dari salah satu kalimat yang terdapat di novel Hujan Bulan Juni. Pada novel Hujan Bulan Juni didalamnya menggambarkan antara dua budaya yaitu budaya Jawa dan Manado. Sebagai bentuk rukun, masyarakat Jawa dituntut untuk mampu bertindak dan bertingkah laku sedemikian rupa guna menjaga keselarasan di antara pergaulan mereka. Nilai sosial dibuktikan pada percakapan di halaman 64:

“Ketika paginya ia memaksakan diri ke kampus, Patiasina langsung berkata—setelah melihat wajah pucat Sarwono, “Sar, kau sakit!”, Sarwono tidak menjawab. Menyandarkan dirinya di sofa ruang program studi. Kaprodi itu meminta salah seorang mahasiswa yang kebetulan sedang konsultasi agar mengantar Sarwono ke Pusat Kesehatan Mahasiswa di kampus.”

Dari kalimat tersebut nilai sosial dengan rasa kepedulian dapat dilihat ketika Kaprodi meminta salah seorang mahasiswa untuk mengantar Sarwono ke Pusat Kesehatan Mahasiswa di Kampus.

Nilai paling menonjol ditunjukkan pada nilai toleransi dimana Pingkan melihat jam tangannya dan mendadak berkata “Sar, ini kan dah jam setengah 12. Jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi dipakai aja, biar cepat.” (Hujan Bulan Juni, 2017:74). Meskipun Pingkan beragama Kristen Protestan namun Ia tetap mengingatkan Sarwono untuk tetap menjalankan kewajibannya untuk Sholat Jum’at.

Nilai religius juga terkandung pada novel ini digambarkan pada halaman 73-77 salah satu contohnya, yaitu

“Namun, ada juga di antara mereka yang tidak taat mengikuti perintah agama. Itu sebabnya orang, tidak terkecuali peneliti, lebih sering tersesat dalam cara menyusun kategori palsu yang pada kenyataannya tidak bisa dipergunakan untuk mengurai masalah.” (Hujan Bulan Juni, 2017:75)

Beberapa pesan religius yang terkandung dalam novel Hujan Bulan Juni harusnya dapat menjadi pengingat bahwa agama merupakan pedoman hidup bagi manusia, apabila melanggar ketentuan yang ada dalam agama, maka bisa jadi seseorang akan mengalami suatu kesulitan, bahkan dapat dikatakan sebagai manusia yang tersesat.