Apresiasi Karya Sastra pada Novel "Laut Bercerita" Karya Leila Chudori dengan Pendekatan Pragmatik

Dalam penelitian ini kami memilih novel “Laut Bercerita” untuk dikaji lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Peneliti memilih novel ini karena tertarik dengan alur cerita yang dipaparkan serta genre yang tergolong lebih cocok dan sesuai dengan pribadi seorang mahasiswa. Melalui pendekatan pragmatik ini peniliti akan memberikan tafsir makna terhadap apa yang diungkapkan oleh sastrawan serta apa peranan pembaca dalam menikmati karya sastra.

Ditulis oleh:

  • Alfi Fadhila
  • Ashya Nurvita Mardani
  • Bintang Eka Priyangga
  • Burhanuddin Al Ghiffari
  • Nova Putri Ramadhani

image
Sumber: https://2.bp.blogspot.com/-8sSdnKMZIDA/W9PmEitzfOI/AAAAAAAABRI/Zzdl43DAb5k9-NdGZoTf_x_4-9_jaIlTgCLcBGAs/s1600/Laut%2BBercerita.png

  • Identitas Novel “Laut Bercerita” Karya Leila S. Chudori
  • Judul : Laut Bercerita
  • Penulis : Leila S. Chudori
  • Tahun Terbit : 2017
  • ISBN : 978-602-424-694-5

Sinopsis Novel “Laut Bercerita” Karya Leila S. Chudori

Jakarta, Maret 1998

Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998

Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu Sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000

Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Hasil Apresiasi dengan Pendekatan pragmatik

BAB I Seyegan, 1991

Pengenalan latar dan suasana tertuliskan pada BAB I ini, berjudul Seyegan 1991. Seyegan adalah tempat di mana kegiatan diskusi aktivis organisasi Winatra bermuara, dan 1991 adalah waktu di mana mereka mulai menemukan “Rumah Hantu” sebagai sekretariat dan tokoh Aku yang mulai terjun pada dunia perjuangan.

“Tentu saja itu bukan keputusan yang bijak karena Daniel seperti biasa akan menganggap segala di dunia ini perlu diperdebatkan. udara yang panas bisa jadi pangkal keributan. nyamuk yang gemar merubung kakinya sudah pasti menyebabkan kehebohan. Mahasiswa yang tak pernah membaca puisi Rendra atau anak muda yang tak peduli dengan pemberangusan buku-buku yang dianggap “kiri”, akan menghasilkan Daniel yang brutal menyerang si mahasiswa dungu dengan serangan verbal tak berkesudahan. Mengajak Daniel ke rumah ini sebetulnya bukan rencanaku. Itulah gunanya Kinan. Selain dia akan menjadi penentu terakhir, kami semua mengakui Kinan sering memberikan argumen paling masuk akal dalam banyak hal. Yang lebih penting lagi, Kinan berfungsi untuk menyetop kerewelan Daniel.”

Pada potongan cerita di halaman 17 bab pertama tersebut, penulis ingin menyampaikan bahwa tokoh Daniel adalah seorang yang selalu ingin benar dan menganggap orang yang tidak sesuai dengan pendapatnya adalah salah. Bahkan, hal-hal sederhana seperti udara yang panas dan nyamuk yang merubung kakinya pun dapat memicu seorang tokoh Daniel untuk mengeluarkan serapahnya. Pembentukan watak tokoh ini cukup sesuai dengan perlambangan seorang aktivis garis keras yang selalu menggebu ketika berbicara perihal apa yang sedang diperjuangkannya.

“Terdengar lenguhan Daniel yang mencoba menebak-nebak manusia di zaman apa yang terakhir menempati rumah itu. Mungkin zaman Belanda, katanya bersungut-sungut Menjawab pertanyaannya sendiri. atau mungkin zaman batu, demikian ia menambahkan.”

Masih berkutat pada tokoh Daniel. Seorang yang hidup dengan penuh kenyamanan ini tak akan terbiasa untuk menempati rumah yang tua. Bahkan, untuk menambah ejekan pada rumah itu. Penulis membumbui tokoh Daniel dengan kemampuan hiperbola. Melebih-lebihkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada di kepalanya.

Penulis membentuk peristiwa begitu ciamik, bahkan, kerisauan akan kejadian penangkapan aktivis dapat dirasakan pembaca yang berjarak 20 tahun lebih. Kemudian, penulis dapat menggambarkan bahwa membaca buku karya Pramoedya adalah sebuah kejahatan. Sebuah peristiwa yang cukup klise dan dapat dimaknai: tulisan-tulisan yang tertuang dalam buku dapat berisikan bahaya dan bagaimana hal sesederhana membaca buku dapat dicap sebagai kegiatan yang berbahaya?

BAB II Di Sebuah tempat, di Dalam Gelap, 1998

Berjudul Di Sebuah Tempat, di Dalam Gelap, 1998. Adalah di mana tokoh Aku dan teman-temannya satu persatu diculik dan disiksa. Di tempat yang gelap dan entah di mana. Tahun 1998 menjadi awal petaka bernama kematian bagi tokoh Aku. Penyiksaan, pengorbanan, hingga nirkemanusiaan tersaji di sini dengan cukup rapi.

“Tak usah tanya-tanya, ikut saja!” bentak salah seorang yang bertubuh besar dan tinggi seperti pohon beringin. Jika aku sok rewel pasti dia mudah sekali mencabut nyawaku. Jadi dengan dua lelaki kekar yang langsung menggiringku, satu seperti pohon dan satunya lagi seperti raksasa, aku berusaha menggeliat memberontak. Tapi salah seorang dari mereka menodongkan sebuah benda dingin ke punggungku. Seluruh tubuhku terasa kaku karena aku tahu itu adalah moncong pistol. Salah satu dari mereka, katakanlah namanya si Pengacau, mengaduk-aduk ranselku yang tergeletak di atas kursi. Sial, mengapa aku lupa menyembunyikannya.

Penggunaan majas dituliskan pengarang dengan tidak cukup luar biasa. Tokoh Aku mewujudkan majas metafora untuk mengumpamakan orang-orang yang ia tidak kenal. Penggunaan ini cukup tepat dengan kondisi pertemuan dengan orang asing. Seorang yang bertubuh besar dan tinggi seperti pohon beringin, raksasa, dan pengacau cukuplah untuk dapat menggambarkan tiga orang yang berbeda.

Pada saat itu, antara rasa asin darah dan mata yang bengkak dan sembap, bayang-bayang maut berkelebat di hadapanku. Dia tersenyum dan memberi pesan bahwa dia hanya sekadar numpang lewat dan belum bermaksud mencabut nyawaku.

Penggambaran untuk hal ghaib pun cukup dapat dirasakan begitu baik oleh pembaca. Pernahkah kita terbayangkan akan hal semenyeramkan kematian? Yang ia datang tersenyum dan memberi pesan untuk sekadar lewat? Peristiwa menyeramkan ini dapat dituliskan dengan baik bahkan pembaca tidak perlu menerka-nerka apa maknanya. Tegas dan sederhana, begitulah perumpamaannya.

BAB III Ciputat, 1991

Pada bagian ini, latar belakang tokoh Aku diceritakan dengan begitu rinci. Kebiasaan memasak keluarga dan tempat-tempat sakral bagi mereka juga diperlihatkan dengan jelas. Ciputat adalah rumah keluarga tokoh Aku setelah Bapaknya memilih untuk pindah bekerja. Dan tahun 1991, adalah tahun-tahun di mana tokoh Aku mulai jarang bertemu dengan tengkleng, dekap Ibu, dan nasihat-nasihat Bapak.

Makan malam di hari Minggu memang sebuah kebiasaan yang sudah ditanamkan Bapak sejak kami masih kecil di Solo. Karena Ibu sering menerima pesanan katering untuk acara perkawinan atau khitanan, maka Asmara dan aku sudah sangat terbiasa membantu Ibu memasak.

Tokoh Aku dan Asmara memiliki kedekatan yang cukup erat dengan keluarganya. Dengan kebiasaan berkumpul dan memasak bersama setiap hari Minggu, keharmonisan keluarga semakin tercipta. Hal itu juga didorong oleh kebiasaan Ibu yang memasak pesanan katering untuk perkawinan atau bahkan khitanan.

Pada Bab III ini berfokus pada latar belakang keluarga yang membentuk tokoh Aku dan adiknya, Asmara. Penceritaan yang cukup jelas untuk menggambarkan kesibukan tokoh dapat ditangkap pembaca tanpa perlu menerka bagaimana maknanya. Pada bagian ini agak membosankan karena hanya berisi perihal pengenalan, melewatkan aspek konflik.

BAB 4 Di Sebuah tempat, di Dalam Keji, 1998

Aku tak pernah tahu nama si Mata Merah yang sesungguhnya. Setelah beberapa hari tergeletak mati di dasar laut, aku juga tak pernah tahu secara jelas lokasi penahanan kami. Apakah mereka meletakkan kami di sebuah penjara atau sebuah markas? Sebaliknya, si Mata Merah dan para hambanya mengetahui nama asli dan nama­nama samaranku selama kami semua dalam pelarian sejak Juli 1996 lalu. Dua tahun lalu, sebelum kami dinyatakan buron oleh pemerintah, Kinan ditugaskan ke Tandes, Surabaya, bersama Sunu, Julius, Gusti, dan naratama. Mereka mengawal buruh 10 pabrik menggelar aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Saat itu, aku baru saja ditunjuk menjadi sekjen Winatra dan Bram menugaskan aku pindah ke Jakarta. Karena unjuk rasa yang intens dan melibatkan ribuan buruh, tentara merasa mempunyai alasan menangkap mereka.

“Kami dibawa ke dalam satu ruangan dan digabung bersama mahasiswi lain. Sedangkan Sunu, Julius, dan Gusti diinterogasi di ruangan sebelah.” Mereka ingin mencari bukti bahwa Kinan dan kawan­kawan adalah “dalang” unjuk rasa itu (kata “dalang” menjadi buruk selama 10 tahun terakhir karena tidak lagi merujuk pada seni pertunjukan wayang). Menurut Kinan, di ruangan itu dia harus membuka bajunya hingga hanya mengenakan celana dalam dan bra karena beberapa polwan yang memeriksa mereka sibuk mencari­cari sebuah rekaman video. “untung saja mereka tidak menemukan apa­apa karena video itu sudah kami amankan,” demikian Kinan mengisahkan padaku sembari tertawa­tawa, seolah­olah yang dialaminya adalah sesuatu yang lucu. Setelah Kinan dan kawan­kawan di tahan selama tiga hari, mereka dilepas dan bubar ke tempat kos masingmasing. Setelah sesi interogasi yang tak terlalu keras dibanding hari pertama, tangan kiriku diikat kembali ke pinggir velbed dan tangan kananku dibiarkan bebas. Rupanya karena itu waktu makan. Karena mataku masih ditutup, aku hanya bisa menebak rasa dan bentuk makanan itu: nasi bungkus. Tentu saja aku sulit menikmatinya. Bibirku masih bengkak dan berdarah, lidahku terasa asin darah. Hidung dan mataku juga masih penuh darah kering. Tetapi aku mencoba menelan sebisanya agar tidak kela paran. Tiba­tiba saja aku teringat gulai tengkleng buatan Ibu.

Dan begitu saja aku semakin merasa berdosa karena keluargaku pasti belum tahu aku sedang disekap dan tengah mencoba makan dalam keadaan babak belur. Sehabis makan dan minum, tiba­tiba saja ada sebuah tangan yang terasa hangat memegang lenganku. aku menebak­nebak dia pasti seorang dokter karena dia memeriksa dadaku. Kali ini pecut listrik itu menghajar kaki dan punggungku. Sakitnya menusuk saraf. aku menjerit dan minta dibunuh saja karena, sungguh, sengatan pada saraf ini tak tertahankan sakitnya. Pecut listrik dihentikan. Kali ini penutup mataku dibuka. Di hadapanku duduk si Mata Merah yang tampak begitu marah karena aku tak kunjung memberi informasi apa pun. Dia mengambil sebuah kotak kayu dan memperlihatkan isi kotak itu kepadaku.

“Saya ini penyayang binatang,” katanya tersenyum. “Semua binatang saya pelihara. ular, harimau, monyet, anjing…banyaklah. Tapi saya juga senang serangga yang cantik dan agresif.” Dia membuka kotaknya dan memamerkan isinya padaku. Karena posisi kepalaku masih terbalik, agak sulit aku melihat isi kotak itu. Si Mata Merah kemudian mendekatkan kotak itu ke mataku. Jempol dan telunjuknya kemudian mengambil sesuatu dari dalam kotak itu: seekor semut rangrang merah yang luar biasa besar. “Perkenalkan, ini kawan saya bernama angelina, dan ini….” Dia mengeluarkan semut lain yang lebih besar lagi dengan kaki yang menggasak udara, “Yunita. Keduanya sangat senang menggigit bola mata manusia. Kata angelina dan Yunita, darahnya sedap….” Mata Merah tersenyum seperti iblis. Bola matanya ber kilatan. Dia tampak bergairah sekali. Perlahan, dia mendekatkan kedua semut itu ke bola mataku

Makna dari cerita ini dapat disimpulkan bahwa rakyat kecil tak punya andil untuk meminta hak nya. Ditunjukan pada kalimat “Karena unjuk rasa yang intens dan melibatkan ribuan buruh, tentara merasa mempunyai alasan menangkap mereka” Padahal buruh pabrik hanya meminta kenaikan upah . Pemerintah yang kejam dan keji , dengan sadar mereka memasukkan para buruh kepenjara. Tak hanya itu, penyiksaan juga terjadi ,dibuktikan pada kalimat “Kali ini pecut listrik itu menghajar kaki dan punggungku. Sakitnya menusuk saraf. aku menjerit dan minta dibunuh saja karena, sungguh, sengatan pada saraf ini tak tertahankan sakitnya. Pecut listrik dihentikan. Kali ini penutup mataku dibuka. Di hadapanku duduk si Mata Merah yang tampak begitu marah karena aku tak kunjung memberi informasi apa pun. Dia mengambil sebuah kotak kayu dan memperlihatkan isi kotak itu kepadaku.”. Hal , ini sungguh tak manusiawi. Dengan cerita ini penulis dengan sengaja memberitahu pembaca bahwa kenyataan yang terjadi pada pemerintahan di negeri ini sangatlah miris. Hukum tumpul ke atas , tajam ke bawah. Meminta keadilan hanyalah omong kosong belaka. Dalam cerita ini, terdapat ungkapan marah, sedih, kecewa , kesakitan, rintihan dan tangisan. Karena menuntut keadilan hanyalah kata tanpa makna.

BAB 5 Blangguan, 1993

“…

Seonggok jagung di kamar

Tak akan menolong seorang pemuda

Yang pandangan hidupnya berasal dari buku

Dan tidak dari kehidupan…

Aku bertanya:

Apakah gunanya pendidikan

Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing

Di tengah kenyataan persoalannya….”

(Rendra, “Sajak Seonggok Jagung”)

Sebelum aksi Tanam Jagung Blangguan, terjadi ‘Kwangju’. Jika Blangguan adalah aksi kami yang paling melekat dibenak untuk waktu yang lama dan aksi ngawi dianggap berhasil, maka jauh sebelumnya kami pernah belajar dari kegagalan ‘diskusi Kwangju’.

Di awal tahun 1993, kami pernah merancang sebuah diskusi terbatas di Pelem Kecut. Kawan­kawan Wirasena memutuskan sebaiknya mahasiswa dari berbagai kampus Yogya diundang mengikuti diskusi penting ini. Kinan dan alex ke Manila untuk mengikuti konferensi Peran Gerakan Mahasiswa dan aktivis dalam Perubahan di asia Tenggara setahun lalu, karena itu kami menyelenggarakan diskusi Kwangju yang dibandingkan dengan People’s Power Manila. Pemberontakan Kwangju tahun 1980 adalah studi kasus pemberontakan di Korea Selatan yang gagal dalam melahirkan demokrasi, sedangkan People’s Power EDSa berhasil menumbangkan Presiden Marcos yang kemudian menjadi sumber ‘kecemburuan’ karena kami berangan­angan agar kekuatan semacam ini bisa terbentuk di Indonesia.

Entah bagaimana segala keluhan segera berhenti serentak karena mereka semua sudah boleh berdiri. Kami sama­sama melangkah ke sisi jalan besar dan barulah aku menyadari sebagian dari kami memang mengalami luka­luka. Di depan kami ada dua mobil polisi yang menghadang bus yang kami tumpangi. Tubuhku lemas se ketika. Sayup­sayup aku merasa mendengar suara Rendra mem bacakan bait “Sajak Seonggok Jagung”.…

Di dalam cerita ini mengisahkan para mahasiswa yang memiliki ambisi dan keberanian. Diundang mengikuti diskusi penting Peran Gerakan Mahasiswa dan aktivitas dalam Perubahan di Asia Tenggara tahun lalu . Dan dalam perjalanan ditemukan berbagai rintangan yang sudah harus dihadapi. Dimana lahan para petani akan di ambil alih para pemerintah. Mereka tak menyangka akan begitu banyak petani yang berani melawan. Anjani mendengarkan dengan atentif dan sesekali tertawa mendengar cerita Sunu; bagaimana dia dan Julius berbicara dengan tegas bahwa mereka harus ke DPRD untuk menyampaikan agar pengambilalihan lahan harus ditunda.Para mahasiswa ini mengatakan bahwa pengambilan alih lahan ini harus ditunda. Dengan keberanian ini segala keluhan tanpa sadar berhenti serentak. Perlahan melangkah ke sisi jalan , dan seketika menyadari bahwa sebagian dari kami sudah mengalami luka-luka. Ungkapan senang , sedih, marah, kecewa, dan semangat tergambarkan dari cerita ini. Lagi dan lagi keadilan sangat sulit didapatkan. Orang kecil, miskin yang senantiasa menjadi sasaran dari para petinggi negara. Perlu diketahui bahwa keadilan adalah milik setiap orang.

BAB 7 Terminal Bungurasih, 1993

“SUBUH yang basah.

Mungkin Malaikat sedang turun ke bumi dan melindungi kami dengan sayapnya”

Pada kalimat tersebut penulis menggunakan kata kiasan yang seolah-olah bumi memang sedang dilindungi oleh malaikat. Maksud dari kalimat tersebut yakni pada waktu itu cuaca di daerah para tokoh sedang teduh.

“Kami memesan soto lamongan dan sama sekali tak sempat mengagumi kelezatan kuah kaldu atau kentang gorengnya yang kriuk­kriuk atau potongan kol yang segar. Kami hanya mementingkan perut kami terisi agar bertambah daya karena sudah harus berjalan menuju Gedung DPRD.”

Pada kalimat di atas menggambarkan bahwa keadaan yang dialami para tokoh memang terdesak, mereka hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk sekedar menikmati makanan yang telah disajikan, yang terpenting mereka sudah mendapatkan energi kembali untuk menuju Gedung DPRD.

“nasi goreng sudah licin tandas. Julius dan aku langsung menenggak obat yang diberikan dokter Jun.”

Dalam potongan kalimat tersebut, penulis memakai kata kiasan yakni pada “licin tandas” dalam hal ini bermakna bahwa nasi goreng yang dimakan oleh para tokoh sudah habis sama sekali.

BAB 8 Di Sebuah Tempat, di Dalam Khianat, 1998.

“Menyaksikan kehidupan cantik tanpa bunyi di dasar laut ini, aku tak yakin mereka yang berada di permukaan bumi akan bisa mendengar suara kami. Bukankah laut adalah sesuatu yang begitu misterius, dalam, dan sunyi? Apakah mereka paham arti gelombang dan seruan kami?”

Pengarang dalam kalimat di atas bermaksud menyampaikan tentang persoalan kehidupan yang ada di novel ini, dengan objek laut dimana tokoh utama nanti akan berakhir kehidupannya. Pengarang sedikit memberikan petunjuk mengenai jalan cerita dari tokoh Laut melalui kalimat ini, yakni melalui sebuah pertanyaan.

“Laut…oh, aku lega kamu kembali…makanlah dulu Laut,”

Kalimat tersebut menunjukkan perasaan Daniel yang khawatir terhadap Laut pada saat dibawa oleh Manusia Pohon dan Lelaki Seibo, hal ini dibuktikan dengan ia menyatakan bahwa perasaannya sudah lega ketika Laut kembali lagi.

“…aku menangis karena ketololanku, kedunguanku, menyangka bahwa semua kawan di Winatra—kecuali Tama—adalah orang­orang yang bercita­cita sama, bertujuan sama. air mataku mengalir deras dan aku sedikit tersedak, tak bisa lagi bicara.”

Berdasarkan potongan kalimat di atas, pengarang bermaksud menyampaikan keadaan tokoh aku. Pada bagian ini tokoh aku melihat sebuah fakta tentang pengkhianatan dari salah satu kawannya, ia merasa menjadi manusia yang bodoh, ia kecewa dan menyesal karena selama ini dia berpikir semua kawannya memiliki tujuan yang sama, tapi pada kenyataannya tidak. Tokoh aku merasa sangat sakit dengan adanya fakta tersebut, sebab kawannya lah yang melihat dia disiksa di atas balok es, namun kawannya hanya memotret dirinya yang sedang disiksa.

BAB 9 Rumahnya Susun, Klender, Jakarta, 1996.

“Kali ini aku adalah Jayakusuma. Tetapi engkau tahu di dalam Jaya ada aku.”

Pada kalimat di atas membuktikan bahwa tokoh “aku” sedang menyamar dengan menuliskan nama samarannya agar tidak diketahui oleh orang-orang yang sedang mencarinya. Tokoh “aku” dapat juga nanti akan mengubah namanya kembali, hal ini dibuktikan pada awal kalimat yang menyatakan “kali ini aku adalah jayakusuma”.

“Tentu saja aku gembira kau masih meluangkan waktu membuat poster, banner, dan berbagai desain newsletter untuk unjuk rasa kita, aku tak bisa membayangkan jika kau harus ikut berlari-lari, ikut hidup merunduk, dan hanya menetap di satu tempat selama dua atau tiga bulan untuk kemudian berpindah lagi.”

Dalam kalimat di atas, tokoh “aku” merasa gembira, senang dan lega karena telah mengetahui orang yang dicintainya yakni Anjani masih dapat melakukan hal disukainya. Setidaknya tokoh “aku” mendapatkan informasi mengenai Anjani melalui karya-karyanya. Tokoh “aku” menyampaikan perasaannya yang lega tentang keputusan Anjani tidak ikut dengannya, hal ini dibuktikan dengan perkataan dia yang tidak bisa membayangkan jika Anjani ikut hidup berlari-larian dengannya.

BAB 10: Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998

“Untuk waktu yang lama tak ada yang mengeluarkan satu pertanyaan pun di dalam gelap. Sama seperti aku, semua kehilangan kata.”

Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama serba tahu ditandai dengan kata “Aku”. Pengarang menampilkan suasana yang mencekam dan menakutkan sehingga tidak bisa mengeluarkan kata-kata sedikitpun, hal itu ditunjukkan dalam “tak ada yang mengeluarkan satu pertanyaan pun di dalam gelap”. Tokoh biru yang menyebut dirinya “Aku” juga mengalami perasaan yang sama dan tidak bisa berkata-kata.

“Aku masih menggigil dan bibirku bergetar akibat berjam­-jam diperintahkan berbaring di atas balok es itu, tetapi itu semua hampir tak ada bandingannya dengan rasa marah, benci, sakit sekaligus putus asa ketika aku menyadari siapa Gusti Suroso;…”

Tokoh “Aku” merasakan rasa sakit hingga menggigil karena berbaring di atas balok es. Pengarang menampilkan bahwa rasa sakitnya berbaring di atas balok es tidak ada apa-apanya dibanding dengan fakta yang diketahui tokoh “Aku”. Tokoh “Aku” baru menyadari hal-hal yang keliru selama itu, ia sangat sakit hati, marah, dan putus asa akan hal itu.

BAB 11: Ciputat, Jakarta, 2000

“Setelah salat magrib, tertatih-­tatih Bapak menyeret kakinya yang mengenakan kelom. Dia akan menghampiri dapur, tempat kami selalu berkumpul setiap hari Minggu. Dengan sepasang mata yang redup, Bapak pasti akan bertanya pada Ibu, aroma apa gerangan yang telah menyerbu cuping hidungnya.”

Sosok bapak dalam kalimat tersebut digambarkan oleh pengarang sebagai lelaki yang sudah tua dan renta, hal tersebut ditampilkan pengarang dengan pernyataan “tertatih-tatih Bapak menyeret kakinya mengenakan kelom”. Kalimat itu menandakan bahwa Bapak sudah susah berjalan sehingga harus bersusah payah menyeret kakinya. Suasana yang digambarkan oleh pengarang adalah rutinitas keluarga sederhana yang hangat pada malam hari.

“Aku kembali ke dapur dengan hati yang sungguh berat. Memasuki dunia yang penuh penyangkalan. Kulihat, seperti biasa, seperti pekan-­pekan sebelumnya, dengan tertatih-­tatih Bapak mulai menutup meja dan meletakkan empat piring makan: satu untuk Bapak, satu untuk Ibu, satu untuk Mas Laut, dan satu untukku”

Terdapat perasaan sedih dan berat hati yang ditunjukkan oleh tokoh “Aku” dalam kalimat tersebut. Ia banyak menyangkal kenyataan yang terjadi di waktu yang sama, ada rasa bingung dan tidak tega pada ayahnya yang setiap hari menyiapkan empat piring makan. Hal tersebut ditunjukkan dalam “Aku kembali ke dapur dengan hati yang sungguh berat” dan “Kulihat seperti biasa, seperti pekan-pekan sebelumnya, dengan tertatih-tatih Bapak mulai menutup meja”

BAB 12: Pulau Seribu, 2000

“Mas Laut dan alex sama­-sama terkejut. Demi melihatku Mas Laut langsung memelukku sambil mengacak­-acak rambutku, itu tanda dia kangen betul.”

Kalimat tersebut bermakna pertemuan seseorang yang sudah lama sekali tidak berjumpa. Suasana yang dihadirkan pengarang pada pembaca adalah rasa haru dan rindu yang tidak terbendung. Kuatnya hubungan antara adik dan kakaknya yang sudah lama tidak berjumpa hingga terkejut ketika melihat satu sama lain, hal itu ditunjukkan dalam kalimat “Demi melihatku, Mas Laut langsung memelukku sambil mengacak-acak rambutku, itu tanda dia kangen betul.”

“Mungkin mereka yang diculik dan tak kembali telah bertemu dengan para malaikat.”

Pengarang membubuhi kalimat “telah bertemu dengan malaikat,” merujuk pada kepergian atau kematian orang-orang yang diculik dan tidak pernah ditemukan lagi keberadaannya.

BAB 13 Tanah Kusir, 2000 dan 14 Di Depan istana Negara, 2007

PERNAHKAH sebuah lagu membuka layar masa lalu yang berisi rentetan gambar tentang seorang anak lelaki yang tumbuh menjadi lelaki pendiam, yang cerkas, yang berbakat menulis, yang mencintai dapur ibunya seperti dia mencintai buku ­buku sastra?

Pada pembuka bab Tanah Kusir penulis mengangkat pembahasan mengenai hal-hal yang tak terlupakan dari sosok mas laut. Dalam penggambaran akan hal tersebut penulis menggunakan analogi atau persamaan dengan kata-kata yang bermakna mendalam yang semakna dengan apa yang dilakukan oleh ayah ibu aitu tentang menghidupkan kembali apa yang telah dilakukan oleh mas laut.

Dia mengambil satu buku, dilapnya dengan penuh kesabaran, depan, belakang, atas, bawah, dibukanya, dan diberi komentar. “ah ya, Mas Laut membaca nietzsche, berbincang tentang buku ini dengan Bapak,” katanya padaku sembari meletakkan buku itu kembali ke rak dan melanjutkan inspeksi pada buku berikutnya.

Pada kalimat penggalan diatas penulis menggambarkan bagaimana sosok sang ayah yang begitu menyayangi mas laut. Kenangan yang diukirnya seakan tak bisa lepas dari hidup sang ayah. Hal itu membuat sang ayah teringat selalu apa yang sering dilakukan oleh anaknya. Selain itu ayah juga mengingat betulapa yang dikatakan oleh anaknya kepadanya. Dalam novel ini dipaparan bahwa ayah yang juga menyayangi barang-barang yang ditinggalkan oleh mas laut yang berupa buku-buku bacaan yang dia sukai. Saking sayangnya ayah membersihkanya satu persatu agar tidak rusak dan tetap terjaga kenanganya.

Bagaimana bisa melawan jika sesekali aku sendiri melihat Mas Laut di setiap pojok rumah ini? Di dapur mengoprek­ngoprek kulkas atau mengambil piring dari kabinet atas, di hadapan rak bukunya mengambil satu­dua buku dan menya ran kan aku agar membacanya, dan dia bahkan terselip di antara lipatan kemeja yang ditumpuk dengan rapi di dalam lemari.

Penulis menceritakan tentang begitu berkesanya sosok mas laut dalam riuk piuk keluarganya. Dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh keluarganya dalam meatapi nasib untuk melupakan mas laut tetapi hal itu hanya akan sia-sia. Sebaliknya malah keluarga ini menghidupkan kembali apa yang dilakukan oleh mas laut dalam keseharianya untuk mengobati perasaan rindu dan mencoba agar mas laut selalu dalam baying-bayang mereka. Penulis menyelipkan makna didalam novel ini bahwa mas laut meskipun hadirnya tak dapat dilihat lagi tapi hadirnya dapat dirasakan dan tak terlupakan.

Aku keluar dari kamar Mas Laut membawa novel Julia alvarez dan menjenguk meja yang penuh dengan bahan makanan. Ibu betul ­betul seperti sedang memasak untuk satu RT, padahal acara bersilaturahmi di rumah pakde Julius di Tanah Kusir sebetulnya hanya mengundang kawan­ kawan Mas Laut; keluarga para korban penculikan—baik yang kembali maupun yang masih tak jelas nasibnya—untuk berembuk, memikirkan berbuat sesuatu yang mengguncang ingatan pemerintah.

Penggalan novel tersebut memberikan penggambaran tentang usaha-usaha yang dilakukan ibunya dalam memikirkan nasib anaknya. Nasib pilu yang dialami anaknya sungguh membuatnya tak habis piker untuk itu dia pun tidak menyerah dan bagaimanapun anaknya harus bisa selamat. Rasa sayangnya dapat dilihat dari bagaimana dia memasak untuk kawan-kawan dari mas laut yang menjadi korban penghilangan paksa. Ibu seakan menyiapkan dengan sebaik-baiknya jamuan untuk tamunya.

“Tapi nanti pisaunya dicuci dengan jeruk (nipis), nak. Mas Laut ndak suka kalau pisaunya bau bawang. Harus bersih….”

“Ya, Bu….”

Aku mengiris bawang dengan cepat dan sigap sesuai ajaran ‘Chef ’ Laut: jari mundur setiap kali pisau mencacah dengan cepat dan dengan ukuran halus tipis. Meski mataku sudah kuberi jarak dari bawang merah kedua, ketiga, dan keempat, air mataku tetap mengalir deras. Tampaknya Ibu mengira aku mencucurkan air mata akibat uap bawang. Beliau mengambil tisu dan menyodorkannya padaku. aku menerimanya, mengucapkan terima kasih, dan menahan gelegak dadaku.

Percakapan ibu dan mara anaknya memberikan kembali kesan bahwasanya ibu selalu ingat betul akan hal-hal yang disukai oleh mas laut. Hal tersebut menggambarkan rasa sayangnya yang begitu besar terhadap anak-anaknya. Tak hanya kepada laut, rasa sayangnya pun kepada mara pun tak kenal henti, perhatian dan rasa kasihnya akan selalu terasa dengan perhatian dan perlakuan bak seperti membantu bayi tidur. Dia tak ingin anknya mengalami penderitaan atau mengalami hal-hal yang tak mereka sukai. Bagaimanapun anaknya harus bahagia dan menemui hal-ha yang mereka sukai.

Dari remang­-remang sinar merah, aku melihat mereka, tiba-­tiba saja seperti menghidupkan foto­foto hitam putih karya alex yang bergantungan itu: Gala Pranaya, Kasih Kinanti, Sunu Dyantoro, Julius Sasongko, Dana Suwarsa, narendra Jaya, Widi Yulianto, dan Biru Laut. aku menggenggam tangan alex erat­erat.

“Bagaimana menurutmu?” alex berbisik. Kata­-kataku macet terhadang segumpal keharuan di tenggorokan. Dan tiba­tiba begitu saja air mataku diam­diam mengalir. Sudah terlalu lama aku menekan emosi karena harus berperan sebagai yang paling rasional di rumah, maka aku sudah lupa bagaimana caranya untuk bersedih. alex mengajakku duduk di atas kursi di depan meja panjang tempat dia memotong foto-fotonya. Lantas dia keluar entah untuk apa. Dia kembali lagi lima detik kemudian dengan segelas air dan beberapa helai tisu.

Penulis menggambarkan lewat kalimat diatas begitu istimewanya sosok-sosok yang mengalami nasib yang begitu tragis. Mara pun tak kuasa menahan rindu dan kesedihan yang mendalam. Dia yang selama ini memendam rasa itu diam-diam kini meluapkanya setelah melihat foto-foto orang hebat yang ditunjukkan oleh alex. Mara tak kuasa untuk berkata-kata. Rasa yang dia miliki sungguh tak diragukan lagi tapi yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa dan berharap akan keselamatan dan kesehatan kakaknya yang sangat ia sayangi.