“Aku tidak berniat menakutimu, Antara. Juga bukan untuk membuat mimpi-mimpimu meredup dan tak lagi terang. Tidak sama sekali. Aku juga tidak mau menjadi alasan langkah-langkahmu terasa berat setelah ini. Aku hanya ingin menyelamatkanmu melalui diksiku, sebelum semuanya berakhir dan selesai dengan sia-sia.”
“Kau lagi?!” Antara berucap kesal setelah membuka matanya. “Kenapa tak pernah berhenti dari menggangguku seperti ini? Setiap kali kau datang, kepalaku seperti ingin meledak. Sebenarnya, kau ini apa?”
“Tidak begitu penting menanyakan wujudku, tapi mungkin kau bisa menyebutku sebagai teman, Antara.”
Teman katanya? Batin Antara tidak setuju. Bahkan makhluk menyerupai benang kusut yang selalu mengacaukan malamnya itu, yang seringkali menggaungkan kalimat aneh, hampir tidak pernah mengizinkan Antara untuk tidur dengan nyenyak.
Antara menyingkap selimutnya dengan tergesa. Napas lelaki itu memburu. Layar ponselnya menyala, menunjukkan pukul delapan. Dia mengacak rambutnya frustasi, masih terlalu pagi untuk bangun. Sial, ternyata mimpi buruk itu menjumpainya lagi setelah sekian purnama tak menyapanya. Ya, benar. Makhluk mirip benang kusut itu masih menjadi satu-satunya mimpi yang Antara benci. Tidak ada yang lain. Tidak ada.
Suara gerombolan ibu komplek yang tak pernah kehabisan topik pembicaraan terdengar sampai ke jendela kamar kost Antara. Lelaki itu bergegas merapikan dirinya. Walau kenyataannya, dia tidak benar-benar bisa memenuhi kata rapi. Justru mungkin sebaliknya. Kemeja biru yang tidak digosok tetap ia pakai. Ujung rambutnya sudah menyentuh kerah. Kumisnya mulai panjang, dan jangan lupakan bibir hitamnya akibat rokok yang sudah seperti makanan wajib. Rasanya, kata rapi sangat jauh darinya.
Antara keluar dan mengunci pintu, melajukan motornya membelah jalan kampung dengan kecepatan tinggi, menyebabkan dedaunan kering yang telah dikumpulkan rapi di beberapa titik oleh tukang sapu, terbang ke segala arah dalam sekejap. Tidak ada kata maaf, bahkan Antara hanya menoleh singkat mengetahui tempat itu kembali kotor. Dia tak peduli, dan memilih untuk melanjutkan perjalanannya.
Motor Antara berhenti di sebuah cafe mewah yang biasa ia datangi. Sebenarnya tempat itu tak sesuai dengan isi dompetnya yang kering. Alasannya sederhana. Antara tidak ingin dipandang kuno jika ia minum kopi di warung biasa. Bahkan dia tidak tahu tujuannya kuliah untuk apa. Antara terlalu gengsi kepada teman-temannya apabila ia tidak menyentuh bangku kuliah.
Kopi pesanannya datang. Belum sepenuhnya pelayan itu kembali ke tempatnya setelah mengantarkan kopi, Antaraa justru menyampir cangkir ke samping hingga jatuh ke lantai dan berserakan. Seluruh mata mengarah pada Antara, berbisik-bisik untuk menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Antara memaki pelayan itu karena salah membuat pesanan. Bukan itu yang Antara minta. Bukan itu kopi yang ia pesan. Lelaki itu marah-marah. Keluar dari cafe dengan membanting pintu dan melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Sampai pada waktu, ia berada pada titik yang tak berhasil membuatnya damai dengan pikirannya sendiri.
Bulan tampak bergelombang pada permukaan air yang tersibak oleh kerikil yang sesekali Antara lempar. Sejak sore lelaki itu duduk di kursi kayu dekat sungai. Tidak ada yang ia lakukan selain melamun. Kakinya yang telah melangkah lelah tak cukup membuatnya bisa diterima pada satu pekerjaan pun.
Angin berembus sejuk. Seperti ada kabut yang pelan-pelan melahap udara. Makhluk yang menyerupai benang kusut kembali menyapa Antara di bawah remang-remang sinar rembulan. Bayangannya tak terpantul pada air. Antara sedikit takut. Jika dulu tatapan makhluk itu lembut padanya, kali ini dingin. Begitu dingin.
“Apa yang ingin kau katakan kali ini?” dengan takut Antara bertanya. Keheningan berangsur datang. Makhluk itu diam saja. Dari matanya menyorotkan sebuah sinar.
Sinar mata yang membenci Antara.
Klakson tukang sayur membangunkan Antara dari mimpi buruk yang sebenarnya adalah separuh kisah yang terjadi dua puluh tahun lalu. Paru-parunya terasa sesak, tapi ia menghalaunya. Antara segera menarik diri dari kasur tipisnya, mengambil seragam berwarna oren dengan tangan keriput yang gemetar. Topi kumal itu ia gunakan sebagai penutup rambut yang perlahan memutih. Usianya kini menyentuh setengah abad. Ya, Antara telah senja.
Antara mengambil sesuatu yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir, yang membuatnya masih hidup sampai sekarang. Ia membawa sapu ijuk itu dari sudut ruang. Di pagi yang terasa lebih damai, Antara membersihkan dedaunan kering di sepanjang jalan. Itu adalah pekerjaannya. Dan ketika terik menyapa, Antara melangkah pulang untuk membuka kedai kopi miliknya. Kedai kopi yang sebenarnya tak pernah ramai oleh pengunjung.
Waktu terus berjalan mengikis usia. Namun, ada hal yang tidak bisa terkikis dari kehidupan Antara. Makhluk menyerupai benang kusut itu masih terus mengikuti Antara kemanapun ia menjejakkan kaki. Kadang makhluk itu baik hingga membuat Antara merasa tenang menjalani hidup, tapi kadang juga ia membenci Antara dan menyebabkan lelaki itu tak bisa tidur dan terus terjaga sampai fajar tiba.
Tapi bagaimanapun alasannya, tidak ada yang lebih bisa menerima Antara sebaik makhluk yang menyerupai benang kusut itu. Tidak ada.
-W, Desember 2021