Analisis Unsur Pembangun Puisi “Sajak Suara” Karya Widji Thukul

A. PENDAHULUAN

Karya sastra puisi merupakan bentuk karya sastra dari hasil ungkapan dan perasaan penyair dengan bahasa yang terikat irama, matra, rima, penyusunan lirik dan bait, serta penuh makna. Puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dalam mengonsentrasikan kekuatan bahasa dengan struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi mengutamakan bunyi, bentuk dan juga makna yang disampaikan yang mana makna sebagai bukti puisi baik jika terdapat makna yang mendalam dengan memadatkan segala unsur bahasa.

Menurut Herman Waluyo puisi ialah karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. Kemudian, pengertian puisi menurut Sumardi ialah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Adapun pendapat dari Thomas Carlye ialah pengertian puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal.

Puisi ialah seni tertulis menggunakan bahasa sebagai kualitas estetiknya (keindahan). Puisi dibedakan menjadi 2 yaitu puisi lama dan juga puisi baru.

  1. Puisi Lama

Puisi Lama merupakan puisi yang masih terikat oleh aturan-aturan yaitu sebagai berikut ini : 1. Jumlah kata dalam 1 baris

  1. Jumlah baris dalam 1 bait

  2. Persajakan (rima)

  3. Banyak suku kata di tiap baris

  4. Irama

Ciri-Ciri Puisi Lama

  1. Tak diketahui nama pengarangnya

  2. Penyampaiannya yang bersifat dari mulut ke mulut, sehingga merupakan sastra lisan.

  3. Sangat terikat akan aturan-aturan misalnya seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata ataupun rima.

  1. Puisi Baru

Puisi Baru merupakan puisi yang tidak terikat lagi oleh aturan yang mana bentuknya lebih bebas dari pada puisi lama dalam segi jumlah baris, suku kata, ataupun rima.

Ciri-Ciri Puisi Baru

  1. Mempunyai bentuk yang rapi, simetris

  2. Persajakan akhir yang teratur

  3. Memakai pola sajak pantun dan syair walaupun dengan pola yang lain

  4. Umumnya puisi 4 seuntai

  5. Disetiap baris atasnya sebuah gatra (kesatuan sintaksis) 6. Ditiap gatranya terdiri dari dua kata (pada umumnya) : 4-5 suku kata

B. PEMBAHASAN

Sajak Suara

Widji Thukul

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam

mulut bisa dibungkam

namun siapa mampu menghentikan

nyanyian bimbang

dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah

jiwaku

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

di sana bersemayam kemerdekaan

apabila engkau memaksa diam

aku siapkan untukmu:

pemberontakan!

Sesungguhnya suara itu bukan

perampok

yang ingin merayah hartamu

ia ingin bicara

mengapa kau kokang senjata

dan gemetar ketika suara-suara itu

menuntut keadilan?

Sesungguhnya suara itu akan

menjadi kata

ialah yang mengajari aku bertanya

dan pada akhirnya tidak bisa tidak

engkau harus menjawabnya

apabila engkau tetap bertahan

aku akan memburumu seperti

kutukan!

Puisi ini menyoroti kekuatan suara sebagai alat untuk melawan ketidakadilan dan menuntut keadilan. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan dan menentang segala bentuk penindasan. Puisi ini juga menggambarkan tekad dan keberanian penyair dalam mengekspresikan kebenaran meskipun menghadapi tantangan.

Puisi “Sajak Suara” karya Wiji Thukul menyoroti beberapa hal menarik terkait kekuatan suara dan pentingnya kebebasan berbicara. Berikut adalah beberapa poin menonjol dalam puisi ini:

  1. Ketidakdapatan Meredam Suara: Puisi ini menyatakan bahwa suara tidak dapat diredam atau ditahan. Meskipun seseorang dapat membungkam mulut seseorang, suara yang berasal dari hati dan jiwa tidak dapat dihentikan. Suara menjadi ungkapan bimbang dan pertanyaan yang muncul dari dalam diri penyair.

  2. Kemerdekaan dalam Suara: Puisi ini mengungkapkan bahwa suara-suara tersebut tidak dapat dipenjarakan. Suara-suara itu menemukan kebebasan di dalam diri mereka. Bahkan jika seseorang memaksakan keheningan, puisi ini menyatakan bahwa pemberontakan akan dilakukan untuk menghadapi hal tersebut. Suara-suara ini menjadi simbol kebebasan dan perlawanan terhadap penindasan.

3.Tuntutan Keadilan: Puisi ini mengajukan pertanyaan mengapa senjata dikokang dan ketakutan muncul ketika suara-suara itu menuntut keadilan. Suara tidak ingin merampok atau menguasai harta benda, tetapi ingin berbicara dan mengajukan pertanyaan yang penting. Hal ini mencerminkan keinginan untuk memahami dan mengatasi ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.

  1. Suara sebagai Kata: Puisi ini menyatakan bahwa suara akhirnya akan menjadi kata. Suara-suara ini mengajarkan penyair untuk bertanya dan pada akhirnya menuntut jawaban. Jika orang-orang yang mempertahankan ketidakadilan tetap bertahan, maka penyair siap untuk memburu mereka seperti kutukan. Puisi ini menunjukkan keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan.

C. KESIMPULAN

Itulah puisi Wiji Thukul seorang penyair yang keras menyuarakan ketidakadilan pada masa orde baru. Sebenarnya, ada banyak penyair yang bersuara lantang kepada pemerintah selain Wiji Thukul. Seperti WS Rendra (sekadar menyebut satu nama) Dia juga pernah dipenjara dan konon katanya, rumor yang berkembang di antara seniman Rendra diasingkan ke luar negeri dengan diberikan beasiswa sekolah di sana agar tidak selalu mengkritisi pemerintah, namun setelah pulang dari luar negeri, Amerika, Rendra semakin keras menyuarakan kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Lafamane, F. (2020). Karya sastra (puisi, prosa, drama).

Damono, S. D. (2006). Pengarang, karya sastra dan pembaca. LiNGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 1(1).

Putra, C. R. W. (2018). Cerminan zaman dalam puisi (tanpa judul) karya Wiji Thukul: Kajian sosiologi sastra. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 4(1).

Oksinata, H. (2010). Kritik sosial dalam kumpulan puisi aku ingin jadi peluru karya wiji thukul (kajian resepsi sastra).