Analisis Struktural Cerpen 'Hawa Panas' Karya Silvester Petara Hurit

Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang cukup populer di kalangan pembaca. Waktu baca yang relatif singkat dan tema cerita yang tunggal membuat cerpen menjadi selingan nikmat dalam rutinitas membaca sehari-hari. Sebagai seorang penikmat karya sastra cerpen, tentunya kita telah akrab dengan sederet nama-nama cerpenis besar seperti Putu Wijaya, A.A. Navis, Danarto, Asma Nadia, dan cerpenis lainnya. Namun, pernahkan kita berkenalan dengan karya-karya cerpen segar dari para penulis baru yang hasil karyanya tak kalah memikat dengan penulis senior. Salah satu cerpenis yang karyanya sangat patut diperhitungkan dalam jagat sastra Indonesia adalah Silvester Petara Hurit.

Sastrawan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur ini telah berhasil melahirkan banyak judul cerpen yang menjadi langganan dimuat di laman sastra Kompas. Sastrawan alumnus jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini bahkan berhasil masuk nominasi Anugerah Cerpen Kompas pada 2020 silam. Beberapa judul karyanya yang diterbitkan di ruangsastra.com antara lain Mama Eta, Bolehkah Kupinjam Sepatumu, Simon?, Hawa Panas, Pilkades, dan beberapa judul lainnya. Sebuah karya sastra yang berkualitas tentu tidak hanya terbangun dari keindahan estetis semata, melainkan juga adanya bobot nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Hal ini jugalah yang didapatkan dari cerpen-cerpen karya Silvester. Tidak hanya ketajaman diksinya saja, tetapi juga pesan kehidupan dan kritikan yang dibawa didalamnya menjadi nilai tambah tersendiri.

Salah satu cerpen karya Silvester yang sarat akan kritik adalah cerpen Hawa Panas. Cerpen yang diterbitkan di laman kompas.id pada Desember 2022 ini menjadi representasi bagaimana sebuah taktik politik dimainkan bahkan pada tingkat terkecil seperti sebuah desa. Cerpen Hawa Panas menceritakan tokoh utama yang merupakan seorang kepala desa bernama Miten. Kades Miten adalah seseorang yang ambisius dan penuh muslihat serta pandai berpolitik sehingga mampu meyakinkan warga desa. Penggalan cerita di awal cerpen seolah menjadi petunjuk tentang bagaimana tokoh Miten akan berkiprah pada jalan cerita yang tengah berjalan.

“Cara bicaranya menggugah dan meyakinkan warga desa. Bagi warga desa yang polos-polos itu, semua omongan Miten diterima bulat-bulat. Bermodal mobil pinjaman dari Baba Cung pemilik gudang mente di Larantuka, Miten semakin meyakinkan warga desa bahwa ia memang sudah selesai dengan urusan perut.” (Hurit, Hawa Panas: 2022)

Penggalan tersebut menjadi petunjuk tentang bagaimana tabiat seorang Miten yang sebenar-benarnya. Watak Miten yang mengobral janji manis di awal masa pencalonannya seolah menjadi sindiran telak bagi kondisi politik di negeri ini yang kurang lebih telah melanggengkan budaya kampanye janji manis sejak lama. Demikian juga dengan sikap Miten setelahnya yang secara licik memonopoli perdagangan komoditas kopra dan mente dengan Baba Cung yang merupakan sponsornya dalam kegiatan kampanye. Sebuah sindiran politik yang tajam dan terang-terangan membuat cerita dalam cerpen Hawa Panas menjadi seperti judulnya, panas dan gawat. Judul Hawa Panas sendiri merupakan gambaran dari ambisi Miten dalam mengeruk keuntungan pribadi yang seolah-olah menjelma menjadi sebuah kondisi yang panas dan mendatangkan kesulitan di desa mereka.

Tak hanya tentang janji politik saja, cerpen Hawa Panas juga dengan berani menyoroti tentang politik dinasti yang sudah menjadi hal biasa di negara kita. Miten yang berhasil naik menjadi kepala desa akhirnya merombak beberapa pejabat penting di pemerintahan desa dan menggantinya dengan orang-orang terdekatnya agar setiap kelicikannya dapat berjalan dengan mudah.

“Seminggu setelah dilantik menjadi kepala desa, ia merekrut sepupunya menjadi ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Tiga bulan kemudian ia mendepak bendahara desa dan menggantinya dengan istri ketua tim suksesnya.” (Hurit, Hawa Panas:2022)

Cerpen Hawa Panas sejatinya menjelma menjadi sebuah alat bagi penulisnya untuk menguliti habis setiap kebobrokan politik yang kerap terjadi di negara ini. Selain menyoroti tentang taktik politik di awal kampanye, cerpen ini juga menyajikan gambaran bagaimana sebuah tahta politik dipertahankan dengan cara yang tidak bersih, termasuk menyingkirkan lawan yang tidak sepaham. Hal tersebut digambarkan dalam cerpen Hawa Panas melalui kehadiran Markus yang berusaha mengkritisi pemerintahan Kades Miten. Akan tetapi, dengan kekuasaannya Kades Miten mampu menyingkirkan Markus melalui jebakan yang telah direncanakan.

Kades Miten dalam cerpen Hawa Panas merupakan seorang yang amat cakap dalam menentukan strategi politiknya. Selain berhasil menyingkirkan Markus yang menjadi ancaman bagi jabatannya, Kades Miten juga memanfaatkan harta yang diperolehnya untuk menjadi penyandang dana dalam agenda politik seperti pemilukada. Hal ini juga menjadi sebuah gambaran fenomena yang sering terjadi di kehidupan nyata, dimana pada setiap agenda pesta demokrasi akan selalu ada pihak-pihak yang menyediakan dana politik bagi calon pejabat dengan imbalan berbagai kemudahan di kemudian hari apabilan calon yang didukung mendapatkan kemenangan.

“Bermodal jabatan kepala desa dan kongsi bisnis dengan Baba Cung, Kades Miten tampil sebagai orang kuat baru. Lima tahun menjadi kepala desa, tanahnya terus bertambah. Ia mulai bermain sebagai penyandang dana mendukung pasangan calon di pemilukada kali ini.” (Hurit, Hawa Panas:2022)

Taktik politik kades Miten rupanya tak hanya sampai disitu saja. Demi mencapai ambisinya agar dapat menjabat selama dua periode, Kades Miten bahkan mengambil langkah memanfaatkan agama demi meraih kepercayaan masyarakat desanya. Kades Miten paham betul bahwa orang-orang di desanya amat patuh pada pastor Paroki sehingga dia berusaha mendapatkan kepercayaan sang Pastor dengan cara membuat rumah peribadatan yang baru. Sebuah intrik politik yang lagi-lagi adalah gambaran nyata bagaimana strategi dalam menggaet kekuasaan bahkan dilakukan dengan memanfaatkan agama.

“Pastor Paroki malam-malam datang ke rumah Kades Miten dan menyatakan dukungan kepadanya. Kades Miten kemudian memesan patung Bunda Maria dan membiayai pembangunan gua untuk pentakhtaannya. Saat peresmian, Kades Miten disambut dengan sapaan adat, pengalungan selendang, pengguntingan pita dan tari-tarian.” (Hurit, Hawa Panas:2022)

Pada akhir cerita, penulis menyajikan hidangan utama dari semua hidangan kecil dalam sebuah pesta politik, yaitu korupsi. Cerita bergulir pada situasi bencana yang dihadapi oleh warga desa. Sebagaimana seorang kades yang bertanggung jawab, Miten tampil memberikan berbagai arahan untuk mengatasi kekacauan akibat bencana. Namun, dari semua hal yang perlu dilakukan, kades Miten bahkan tidak melupakan ada kesempatan yang dapat diambil dari kejadian tersebut, yaitu dengan membuka donasi. Uang donasi yang akan masuk seolah-olah menjadi peluang bagi kades Miten untuk menambah pundi-pundi pribadinya. Meskipun tidak diceritakan secara tersurat, namun jalannya cerita dan pembangunan karakter seorang Miten sejak awal hingga akhir membuat pembaca langsung tergiring pada kesimpulan yang sama, bahwa dana donasi tersebut akan dikorupsi oleh Miten.

“Di ruang kerja Pastor Paroki, mereka bicara lebih rapat pagi itu. Kades Miten sepakat dengan Pastor Paroki bahwa setelah sarapan mereka langsung pergi ke kota buka rekening donasi bagi korban bencana.” (Hurit, Hawa Panas:2022)

Demikianlah bagaimana sebuah cerpen yang dibaca tak lebih dari 10 menit, mampu membuat pembaca mendapatkan cakrawala pengetahuan baru tentang bagaimana dunia politik selama ini berjalan beserta segala intriknya. Tak semua pelaku politik melakukan hal yang sama seperti Miten. Tentu saja, Silvester ingin pembacanya mampu menangkap bahwa masih terdapat banyak sosok Miten di sekitar kita yang membawa Hawa Panas melalui ambisinya. Cerpen ini pada akhirnya mengambil peran ganda untuk menghakimi sekaligus mengampuni. Cerpen ini ingin menyampaikan bahwa sosok Miten pada cerita inilah yang harus dihindari, bukan kegiatan politiknya.

1 Like

Mashoook