Analisis Semiotik Puisi Berjudul "Hatiku Selembar Daun" Karya Sapardi Djoko Damono

download (9)

Apakah kalian tahu apa itu karya sastra? Tentu kalian sudah tidak asing dengan karya sastra dan puisi? Karya sastra sendiri merupakan perwujudan makna yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca melalui sebuah karya. Sedangkan Puisi merupakan bagian dari karya sastra yang berisi ungkapan perasaan seseorang melalui sebuah tulisan yang memiliki Bahasa yang indah dengan bait-bait. Menurut Pradopo, 2012 puisi dapat diartikan sebagai kata-kata yang terindah dalam susunan terindah, penyair memilih kata-kata yang tepat dan disusun dengan baik. Kemudian puisi sebagai sesuatu yang puitis. Puitis berarti mengandung keindahan dalam puisi tersebut. Keindahan dalam puisi tidak bisa didefinisikan secara pasti. Puisi dapat dikatakan puitis bila mampu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, ataupun memberi keharuan.

Puisi berjudul “Hatiku Selembar Daun” merupakan sebuah puisi karangan Sapardi Djoko Damono yang berisi perjalanan hidup seseorang yang diibaratkan sebagai selembar daun. Puisi berjudul “Hatiku Selembar Daun” dapat dianalisis dengan pendekatan semiotik. Analisis semiotic sendiri merupakan sebuah analisis yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks. Berikut adalah analisis semiotic dari puisi berjudul “Hatiku Selember Daun”.

HATIKU SELEMBAR DAUN

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Hati, bisa diartikan sebagai anggota tubuh yang diyakini sebagai tempat menyimpan perasaan. Hatiku divisualisasikan Sapardi sebagai selembar daun yang melayang jatuh ke rumput. Selembar daun yang melayang ke rumput, dapat menjadi signifier sebagai sesuatu yang sudah layu, atau mati. Sebagaimana konvensi dalam masyarakat kebanyakan, daun yang berguguran ke tanah adalah daun yang sudah layu, busuk, atau mati. Menurut KBBI, hati adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya). Hati di awal puisi ini lalu seolah-olah merupakan selembar daun yang jatuh di rumput. Daun yang jatuh di rumput, identik dengan daun yang yang sudah layu atau sudah mati. Sudah menjadi konvensi di tengah masyarakat, bahwa daun yang jatuh ke tanah memang daun yang layu atau mati. Hatiku selembar daun menjadi signifier (penanda) bagi seseorang yang hendak mati (signified/ petanda). Seseorang yang mencoba Sapardi gambarkan, menyimpan perasaan tertentu, yang diwakili oleh kata hati (signifier). Perasaan seperti apakah itu?

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput

(namun) nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini.

sejatinya hubungan manusia

dengan lingkungan sangat erat berkaitan.

sejatinya hubungan manusia

dengan lingkungan sangat erat berkaitan.

Aku, yang akan mati, meminta agar mati itu jangan dulu datang. Daun (signifier), seolah meminta setelah jatuh ke tanah, jangan dulu mati, ia ingin terbaring dulu. Terbaring bisa dimaknai sesuai KBBI (Ebta, 2015), yaitu terletak membujur, tergeletak, tergelimpang. Oleh karenanya, terbaring merujuk pada keinginan perasaan selembar daun. Ia masih ingin terbaring di tanah. Dalam konvensi masyarakat, daun yang sudah jatuh akan disapu, dibersihkan, kemudian dibakar. Daun itu ingin di sini dulu, di atas rumput, jangan dulu dibersihkan dan dibakar. Manusia yang akan mati (signified) meminta agar ia tidak mati dulu. Ia ingin Tuhan jangan dulu mempertemukannya dengan kematian. Selembar daun ini, tidak semata-mata meminta untuk diam di atas rumput dulu, melainkan ia meminta kepada Tuhan untuk menunda dulu kematiannya. Aku yang akan mati, menginginkan Tuhan menunda kematiannya. Baris kedua, sama halnya dengan baris sebelumnya, di ujung baris diakhiri tanda titik koma (;). Tanda ini juga menjadi symbol yang mewakili konjungsi penyebaban, seperti karena.

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput

(namun) nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini

(karena) ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput

Karena ada sesuatu yang masih ingin ia saksikan. Sesuatu yang sebelumnya selalu luput. Aku sebentar lagi mati, tapi ada hal yang selama hidup terabaikan. Aku, selembar daun itu, kali ini meminta Tuhan memberinya kesempatan untuk tidak abai terhadap hal itu. Dalam konvensi masyarakat, orang-orang yang sudah memiliki firasat kematian, kebanyakan dari mereka yang memiliki firasat itu lantas melakukan hal-hal yang terabaikan selama hidupnya. Mereka ingin menuntaskan hal-hal itu sebelum kematian benar-benar mendatanginya. Petanda-petanda yang ditampilkan Sapardi dalam puisi Hatiku Selembar Daun, sejauh proses analisis sampai baris ketiga masih memiliki keterkaitan antara petanda dan penanda. Selanjutnya adalah pada baris yang berbunyi:

sesaat adalah abadi sebelum kusapu tamanmu setiap pagi.

Sebelum bait, ada pula tanda baca titik koma (:wink: yang disimpan di akhir baris. Bila titik koma (:wink: ini masih memberikan symbol pemjemukan kalimat, maka baris yang sedang dianalisis ini akan bertambah dengan konjungsi karena.

(karena) sesaat adalah abadi sebelum kusapu tamanmu setiap pagi.

Selembar daun (signifier) dari orang yang akan mati (signified) meminta agar Tuhan tidak mencabut dulu nyawanya. Ada yang ingin dilakukan, dilihat, dikerjakan, karena sesaat kemudian berarti akan bertemu dengan kematian sebenar-benarnya. Bila kematian itu sudah tiba, maka daun tak bisa lagi diam di atas rumput. Ia akan disapu setiap pagi. Hal yang ingin disaksikan sebelum mati benar-benar tak bisa disaksikan bila telah mati.

Berdasarkan analisis semiotic puisi berjudul “Hatiku Selembar Daun” maka dapat disimpulkan bahwa di dalam puisinya Sapardi Djoko Samono sebagai penulis berusaha supaya menggambarkan orang yang akan mati sebagai sesuatu petanda (signified), dengan perasaan selembar daun yang akan gugur ke rumput, kemudian mati. Orang yang akan mati, biasanya baru menyadari hal-hal yang seharusnya ia lakukan saat masih hidup. Sapardi kemudian membuat petanda permintaan itu kepada Tuhan, meminta agar Tuhan memberi kesempatan melakukan hal yang terlewatkan sebelum mati. Dan penulis berharap supaya pembaca dapat menik ati serta memetik makna-makna yang terkandung di dalam puisi ini.