Analisis Puisi Karya Chairil Anwar Berjudul Derai-Derai Cemara

Analisis Puisi Karya Chairil Anwar Berjudul Derai-Derai Cemara

Puisi berjudul Derai-Derai Cemara merupakan karya sastrawan terkenal di Indonesia bernama Chairil Anwar. Ia lahir di Medan pada tanggal 26 Juli 1992. Sajak-sajak yang disusun oleh Chairil Anwar ini menggunakan kata-kata yang sederhana dan dengan makna yang mendalam. Sajak-sajak yang telah ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidupnya yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. ‘Derai-Derai Cemara’ menjadi sajak yang ditulisnya pada saat berada di pembaringan rumah sakit. Dalam sajaknya, ia meneriakkan keinginannya untuk tetap hidup walau umurnya telah terbatas pada 27 tahun. Pada usia 26 tahun ia telah menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan sebuah kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetapi tidak diucapkan.”

Puisi Derai-Derai Cemara merupakan penggambaran sebuah kesadaran tentang sebuah perjalanan hidup manusia dan rapuh. Setiap perjalanan manusia pasti akan berakhir. Semua yang bernyawa pasti akan mati apabila telah tiba pada waktunya. Derai-Derai cemara yang dipakai Chairil Anwar untuk judul sajak merupakan gambaran dari daun-daun cemara yang berguguran yang mempunyai makna tentang runtuhnya harapan tokoh sajak.

Derai-Derai Cemara

Karya Chairil Anwar

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan ditingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada satu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan Sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Dalam puisinya itu, telah terkandung unsur fisik dan batin yang dapat tersampaikan pada pembaca. Unsur fisik tersebut anta lain:

Diksi

Dalam puisi ini, menggunakan sajak-sajak sederhana dan dingin yang dapat dimengerti dan menghayati apa yang telah dialami oleh penyair Chairil Anwar. Ia menggunakan tiga macam majas pada puisi ini, seperti majas hiperbola, personifikasi, dan alegori.

Rima

Unsur bunyi dalam sajak ini sangat dingin sehingga menimbulkan kemerduan puisi, dan dapat memberikan efek terhadap makna, nada dan suasana puisi tersebut.

Tipografi

Dalam puisi Derai-Derai Cemara terdiri dari tiga bait, dan setiap baitnya terdiri dari empat larik. Bait pertama sampai bait ketiga hadir dengan tipografi lurus dan struktur yang teratur dengan pola rima a-b-a-b, tetapi tidak sama dengan pantun karena tidak ada sampirannya, semua larik digunakan oleh pengarang sebagai sarana pengantar kepuitisan. Kata-kata dalam sajak ini menggunakan simbol, citraan, gaya bahasa, dan sarana puitis. Sarana puitis inilah yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan hidupnya yang semakin lemah.

Imaji

Imajinasi yang digunakan oleh pengarang sangat tinggi walaupun menggunakan kata-kata yang sederhana tetapi sangat menyentuh hati pembaca.

Kata Konkret

Kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama, tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung pada situasi dan kondisi pemakainya.

Gaya Bahasa

Bahasa yang digunakan pengarang dalam sajak ini sangat sederhana, dan dengan kesederhanaan itu pengarang mencapai kepada klimaks yang ingin disampaikan.

Sedangkan unsur batin puisi Derai-Derai Cemara antara lain:

Tema

Perubahan dalam diri manusia yang terpisah dari kehidupan masa lalu.

Rasa

Puisi Derai-Derai Cemara memperlihatkan rasa sedih yang dapat dirasakan di setiap bait puisinya. Bait pertama menyebutkan bahwa ‘aku’ sadar mengenai hidupnya yang sudah tidak muda lagi, tersirat dalam baris ‘Terasa hari akan jadi malam’, lalu bait kedua menyiratkan bahwa ‘aku’ sudah dapat menahan diri dan menahan emosi. Penyair pun menyiratkan kembali bahwa ‘aku’ sudah tidak muda lagi yang disampaikan pada baris “Sudah berapa waktu bukan kanak lagi”. Dan pada bait terakhir, penyair menyimpulkan dalam baris yang berbunyi “Hidup hanya menunda kekalahan…Sebelum pada akhirnya kita menyerah.”

Nada

Pada puisi Derai-Derai Cemara, sikap penyair terhadap pembaca adalah iba atau lebih tepatnya mengadu.

Amanat

Kehidupan hanyalah perjalanan yang keras untuk ditempuh dan setiap manusia akan mati dengan tenang kalau apa yang harapkannya tercapai.

Dalam seluruh sajak ini, kata “dipukul” jelas merupakan kata yang paling keras mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang masih terpendam. Si aku dalam lirik sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa jadi malam.

Chairil dalam puisinya ini menunjukkan kelebihannya dalam memilih kata-kata yang tidak biasa orang lain gunakan tetapi memberikan kesan yang dalam pada setiap pembacanya. Selain itu juga dalam puisinya ini memiliki kelabihan tersendiri dibanding puisi-puisi lainnya yakni mengenai rimanya yang teratur berbeda dengan puisi-puisi lainnya.

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan di tingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

Diawal kalimat menceritakan tentang cemara, cemara merupakan suatu jenis pepohonan dengan daun yang kecil dan meruncing. Digambarkan dengan suasana sore hari (hampir malam) dan beberapa dahan merapuh diterjang oleh angin malam. Merupakan penggambaran diri manusia yang mulai merapuh, dan suasana yang hampir malam menggambarkan tentang kesadaran tentang perjalanan hidup yang pasti akan selalu berakhir dan semua yang bernyawa pasti akan mati.

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada suatu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

Bait kedua menggambarkan kedewasaan tokoh aku, yang digambarkan dari kalimat sudah berapa waktu aku bukan kanak lagi. Penggambaran tentang pandangan si tokoh aku yang terjadi saat dia masih kanak dan pandangan itu tidak relevan lagi ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa kanak-kanaknya.

Hidup hanya menunda-nunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

Bait ketiga merupakan penggambaran si tokoh aku tentang sebuah keterasingan. Kata jauh menggambarkan tentang cita-cita si tokoh aku yang cemerlang, akan tetapi pada kenyataannya hidup selalu penuh penderitaan dan jauh dari apa yang diharapkan oleh si tokoh aku. Kalimat Hidup hanya menunda-nunda kekalahan merupakan sebuah penggambaran tentang keputusasaan tokoh, semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari masa lalunya.

Puisi Derai-Derai Cemara ini memiliki bahasa yang sederhana dan memiliki pengimajinasian yang menjadikan pembaca membayangkan hal tersebut, dapat menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat layaknya manusia. Puisi Derai-Derai Cemara dapat membakitkan perasaan pembaca yang kemungkinan sama dengan perasaan penyair saat menyusun puisi tersebut. Chairil Anwar dalam menyusun puisi tersebut memilih kata-kata yang tidak biasa orang lain gunakan tetapi memberikan kesan yang dalam pada setiap pembacanya. Selain itu, di dalam puisi ini memiliki kelebihan tersendiri dibanding puisi-puisi lainnya yang mengenai rimanya yang teratur berbeda dengan puisi-puisi lainnya. Oleh masyarakat umum, puisi ini baik dibaca karena dapat mengajarkan bahwa sekeras apapun kita berusaha tetap akan berjalan sesuai keputusan-Nya.

Sumber Referensi:

Nurhalimah, S., Lestari, R. D., & Mustika, I. (2020). Analisis Puisi Chairil Anwar" Derai-Derai Cemara" Dengan Pendekatan Mimetik. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), 3(5).

Husni, M. Absurditas Dalam Puisi Derai-Derai Cemara Karya Chairil Anwar. Basastra: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 9(2), 210-222.

Rahayu, I. S. (2021). Analisis Kajian Semiotika Dalam Puisi Chairil Anwar Menggunakan Teori Charles Sanders Pierce. Semiotika: Jurnal Komunikasi, 15(1).

Rasasti, N., & Sobari, T. (2022). Analisis Makna Puisi “Deraiderai Cemara” Karya Chairil Anwar. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), 4(4).

Tiyet, Kinan. (2015). Analisis Puisi Derai-Derai Cemara Karya Chairil Anwar.