Analisis Penggunaan Istilah Masuk Angin dalam Berita

Oleh: Hubbi S. Hilmi & M. Rohmadi

Diksi “masuk angin” dengan makna yang lain pertama kali saya temukan ketika saya membaca berita yang berjudul Ajukan Tuntutan Tinggi untuk Richard Eliezer, Kejaksaan Agung: Enggak Ada Masuk Angin yang diberitakan oleh Tempo pada pada Kamis 29 Januari 2023. Demikian pula ketika saya membaca berita yang dimuat JawaPos pada tanggal 19 Januari 2023 yang berjudul Bantah Masuk Angin dalam Kasus Sambo, Kejagung: Ini Pertaruhan Lembaga. Pada laman berita yang lain, saya juga menemukan diksi itu, misalnya ketika saya membaca pada laman Kompas.com, berita yang dimuat pada tanggal 19 Januari 2023 berjudul Kejagung Tegaskan Jaksa Tidak Masuk Angin Saat Tuntut 5 Terdakwa Pembunuhan Brigadir J. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 2019 dan 2022, ternyata Kompas juga telah menggunakan kata “masuk angin” ini sebagai tajuk beritanya yang lain, misalnya dalam berita bertajuk Pedang Tajam agar Tak “masuk Angin” di Kota Angin (2019) dan “Balsem Anti Masuk Angin” untuk Dewa KPK (2022).

Istilah “masuk angin” sendiri mula-mula dikenal masyarakat Indonesia sebagai istilah dalam menyebut salah satu kondisi tubuh manusia, khususnya terkait dengan kesehatan fisik. Kondisi itu diidentifikasi dengan gejala tak enak badan dan anggapan bahwa terdapat angin yang terlalu banyak dan terjebak dalam tubuh manusia. Namun menariknya, dalam kacamata medis sendiri ternyata istilah ataupun kata “masuk angin” ini tak pernah benar-benar ada dan digunakan. Dalam medis, “masuk angin” lebih dikenal sebagai gejala serupa flu (flu-like symptoms) yang merupakan sejumlah gejala yang dialami seseorang ketika pada masa awal terjangkit virus flu. Kondisi medis lain yang gejalanya cukup menyerupai masuk angin ini adalah gangguan pencernaan, terutama dispepsia, yang menyebabkan nyeri perut, begah, dan sering buang angin (https://bobo.grid.id/).

Makna masuk angin sebagai gangguan pencernaan dan gejala masuknya virus dalam tubuh, tentu bukanlah yang dimaksudkan dalam sejumlah tajuk berita tersebut. Masuk angin telah disulap oleh para pengguna bahasa bukan lagi merujuk pada kondisi kesehatan fisik seseorang. Masuk angin menjelma menjadi bentuk kiasan yang merupakan salah satu strategi berbahasa. Strategi berbahasa ini dilakukan untuk mengaburkan makna dari makna asalinya. Menyimpangkan makna sebenarnya dengan tujuan menyampaikan atau menjelaskan makna lain yang lebih rumit sehingga dapat dengan mudah dipahami. Istilah “masuk angin” dalam sejumlah tajuk berita itu bukanlah angin sembarang angin yang akan kabur hanya dengan dikerok menggunakan koin lima ratus perak.

Bukan Angin Biasa

Kerokan dalam hal ini tak berguna untuk mengusir “angin” yang digunakan dalam sejumlah tajuk berita tersebut. Sebab, angin yang masuk bukanlah angin sembarang angin. Jika kita telaah, kata “masuk angin” dalam sejumlah tajuk berita tersebut sangat lekat dengan dunia hukum dan politik. Femonema penggunaan kata “masuk angin” ini sendiri dalam bahasa sering dikenal sebagai kosakata yang memiliki makna konotatif. Makna kata yang bukan makna sebenarnya atau kiasan. Makna dalam kata “masuk angin” ini sejalan dengan beragam kosakata lain yang memiliki makna konotatif atau bermakna ganda yang sering kita temui dalam pergaulan sehari-hari. Kata-kata itu melebur dan memberi makna yang lain sesuai dengan penggunaannya dalam sebuah kalimat. Misalnya, pemaknaan terhadap kata tangan kanan dalam kalimat Udin merupakan tangan kanan dari Idun akan berbeda maknanya dengan kalimat setelah mengobati kakinya, Udin mengoleskan salep pada pergelangan tangan kanannya. Pun dengan kata lain semisal gulung tikar, tulang punggung, dan sejumlah kosakata lainnya yang memiliki makna mendua.

Diksi “masuk angin” dalam tajuk sejumlah berita tersebut merupakan penyelewengan makna kata dari makna sebenarnya. Makna sebenarnya sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya tak lagi melekat pada kata “masuk angin.” Meski sama-sama merupakan kiasan, pemaknaan kata “masuk angin” ini sangat berbeda dengan kata “pelicin” yang menjurus pada segepok uang untuk melakukan tindakan penyuapan dan “orang dalam” yang digunakan merujuk pada peran seseorang – biasanya anggota keluarga atau kolega – yang memuluskan si calon, baik si calon pekerja ataupun si calon mahasiswa agar dapat dengan leluasa mendapatkan pekerjaan yang dinginkan ataupun agar dapat duduk nyaman di bangku kuliah yang didambakannya.

Meski sama-sama memilik makna negatif, kata “masuk angin” dalam hal ini merujuk pada suatu tindakan kolaboratif antara si penghukum dan si terhukum dalam menyelesaikan suatu persoalan, misalnya dalam suatu kasus di dunia hukum. Kata “masuk angin” ini juga lebih menjurus dan mengerucut pada upaya intervensi individu atau kelompok tertentu kepada individu atau kelompok lain, bahkan lembaga atau suatu institusi untuk menentukan keputusan yang akan dibuat dan ditentukan demi keuntungan si pengintervensi. Jika individu atau kelompok dan bahkan suatu institusi terjangkit gejala masuk angin ini, akan mengakibatkan “tubuh” individu, kelompok, ataupun institusi tersebut akan terserang “penyakit.”

Biodata Penulis:

Hubbi S. Hilmi, lahir di Labuhan Haji, Lombok, NTB. Cerpen, esai, dan resensinya pernah muat di sejumlah media nasional maupun media lokal. Buku kumpulan esai pertamanya terbit dengan judul Silsilah Percakapan (Jejak Pustaka, 2022). Merupakan penggemar kasidah sekaligus koplo garis lembut dan mahasiswa doktoral prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta serta tenaga pengajar di Universitas Khairun Ternate.

M. Rohmadi merupakan ketua ADOBSI (Asosiasi Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia). Ia juga merupakan salah satu dosen di Universitas Sebelas Maret Surakata.

2 Likes

wahh sangat bermanfaat sekali dan menarikkk untuk analisis serta informasinya. terima kasih saudara satu negara

1 Like