Aku, Siomay, dan Penolakan Lembut pada Tren

Aku, Siomay, dan Penolakan Lembut pada Tren

Di tengah ramainya unggahan dimsum, sushi, dan croffle kekinian, aku tetap setia pada siomay. Rasanya memang nggak istimewa, bentuknya juga biasa saja. Tapi entah kenapa, di lidahku siomay ini selalu menang—apalagi siomay langganan dekat sungai di Rindam. Ia selalu tahu rasa yang aku mau.

Aku pernah bilang ke temanku bahwa aku baru tahu soal dimsum saat dia mengajakku beli. Ekspresi kagetnya waktu itu begitu natural, seolah aku berasal dari planet lain. Dan ketika akhirnya aku mencicipinya, lidahku merasakan sensasi asing, tak biasa, dan sulit dijelaskan.

Aku sadar bahwa lidahku tidak mudah jatuh cinta. Ia tidak langsung terpikat dengan makanan yang dibungkus kertas daur ulang berdesain estetik. Ia justru luluh pada sambal kacang yang encer tapi hangat, pada tahu kukus dan kol rebus yang kadang rasanya agak asam entah kenapa. Lidahku mungkin bukan lidah zaman sekarang, dan aku tak apa dengan itu.

Bagi banyak orang, pilihan untuk tidak mengikuti tren dianggap kolot, atau bahkan bentuk keterbelakangan. Tapi bagiku, menolak ikut arus bukan soal pembangkangan, melainkan bentuk kesetiaan dan tanggung jawab pada rasa yang tumbuh perlahan—bukan yang lahir dari algoritma.

Dari hal kecil ini, aku belajar memahami diri. Bahwa aku lebih cocok hidup di jalur samping yang sepi dan bisa membuatku merasa pulang, bukan di panggung utama yang ramai dan—terkadang—sarat kebohongan.

Aku, siomay, dan ketertinggalanku pada makanan viral… dan aku enggan mengejar ketertinggalan itu. Karena dari sini aku belajar bahwa menjadi diri sendiri tidak harus ramai. Kadang cukup duduk diam, makan pelan-pelan, sambil bilang dalam hati:
“Ini memang bukan makanan tren. Tapi ini rasa yang memahami aku.”

1 Like