Akhudiat; Sastrawan dan Jejak Pergulatan Seni Budaya

Akhudiat; Sastrawan dan Jejak Pergulatan Seni Budaya

Akhudiat-Sastrawan
sumber: Suarasurabaya.net

Sebermula Kedai dan Pasar Malam …
Akhudiat mulai menggemari membaca semenjak bersekolah di Sekolah Rakyat Negeri atau saat itu dikenal dengan SR 1 dekat daerah Rogojambi, Banyuwangi. Kebetulan saat itu, di depan sekolah SR 1 terdapat kedai buku yang merangkap sebagai agen koran dan majalah, tempat Akhudiat mengintip koleksi buku mereka saat jam istirahat atau pulang sekolah. Dua penulis yang menarik perhatian dari seorang Akhudiat saat sekolah dasar adalah; Motinggo Busye dengan karyanya Minggu Pagi dan Soepardji Tomodihardjo dengan tulisannya kini di negeri Belanda yang terdapat di koran Trompet Masyarakat. Selain membaca adalah tontonan yang membuat Akhudiat malam-malam keluar rumah sehabis pulang mengaji di surau, ia juga sering menyelinap keluar rumah nenek untuk menonton segala bentuk pertunjukan yang ada.

Di daerah rumah neneknya, Rogojambi Lor, Akhudiat sering keluar masuk kampung untuk memburu berbagai tontonan. Di bioskop yang bernama Sampurna Theatre ia tahu Mickey Mouse, Tarzan, Robin Hood, David Crockett, Jerry Lewis, Dean Martin, Norman Wisdom (sejenis dan sebangsa Mr. Bean), Charli Chaplin (Gold Rush), P. Ramlee, Osman Gumanti, Daeng Harris, Kasmah Booty, Siput Serawak , A. Hamid Arief, Bambang Hermanto, Bambang Irawan, AN Alcaff, Said Effendi, Kotot Sukardi, Fifi Young, Aminah Tjendrakasih, Bin Slamet, Pak kuncung, Mbah Surip, Ratmi Bomber, dan Raj Kapoor. Tapi yang paling Akhudiat ingat adalah sebuah film Perang Pasifik yang entah apa judulnya, yang menggambarkan seorang korban sangat parah lalu bunuh diri di rumah sakit darurat dengan garpu makan. Semenjak masa kecilnya itu, ia ngeri sendiri setiap melihat garpu di piring.

Sekali setahun sehabis panen, di lapangan Gedung Nasional Indonesia (GNI) ada tontonan besar: pasar malam. Sebuah pasar yang menyuguhkan segala macam atraksi, sengaja dijual atau sekadar pemeran. Menghibur dan barangkali juga seni dan pengantar teknologi. Ia menghupkan kampung tempat Akhusiat tinggl dengan segala hingar-bingarnya menjadi kota bercahaya. Pintu gerbangnya sering disebut dengan damar sewu (lampu seribu) oleh orang kampungku. Ada juga tinju, sulap, undian, komedi putar, kincir besar, tong stand, rod agila, ombak air, akrobatik, laba-laba sekamar berwajah wanita cantik , manusia neon, kereta listrik mini berkeliling ruang pameran, dan kedai makanan minuman.

Di pasar malam permata kali ia menonton: Aneka Ria Srimulat, sebuah pentas dengan banyak variasi pertujukan yang intinya adalah Dagelan Mataram/Dagelan Blangkon, komedi plesetan berbahasa Jawa (Tengahan); sandiwara (keliling) berbahasa Indonesia, antara lain Bintang Surabaya, Gema masa, Kintamani—sejenis atau penerus komedi bangsawan/setampul/”Opera Melayu”; wayang orang yang mementaskan petikan epic Mahabarata dan Ramayana; ketoprak yang mengangkat legenda rakyat; ludruk berbahasa Jawa-Surabaya. Selain itu, saat keluar kampung ia juga sering menjumpai pertunjukan kuda lumping, reog, ronggeng atau kentrung: sebuah pertunjukan sastra lisan oleh dalang tanpa wayang dengan iringan kendang, rebana dan jidor, yang suka mengisahkan Jaka Tarub.

Akhudiat melanjutkan sekolahnya ke Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) Negeri di Jember pada tahun 1958—1962. Selama bersekolah, ruang dan bahan bacaan Akhudiat makin melebar: di perpustakaan GNI, jadi anggota perpustakaan Jawatan Pendidikan, pengajarn dan kebudayaan (PP & K) dan sekolahannya sendiri. Mulai menekuni buku dan majalah sastra, terjemahan dan bacaan popular. Tetangga sebelah tempat kos Akhudiat adalah seorang pejabat tinggi di Landbouw Maatschappij Onderneming Djember (LMOD), punya koleksi majalah luar negeri. Yang pernah saya pinjam, tentu saja langsung dari si pemilik.

Diat mengikuti kursus acting Teater Muslim dengan bimbingan Mohammad Diponegoro dan Arifin C. Noer. Bersama dengan teman kelas yang juga anggota Teater Muslim, Diat mementaskan drama di PHIN, adaptasi dari cerpen A.A. Navis (1924—2003), yang berjudul “Sebuah Wawancara”. Selama di Yogyakarta, ia dibekali dengan kosa kata teater. Salah satu ucapan temannya, yang bernama Arifin yang selalu Diat ingat yaitu,

Bacalah naskah drama, pelajari dialog-dialognya, kamu akan bisa menulis naskah sendiri.

Mencoba untuk menulis naskah drama, ia mengenalkan lakon awal dengan julukan “Teater Jalanan”. Bisa dimainkan dalam Gedung, atau di taman, lapangan, halaman, pendapa, arena di mana saja. antara lain adaptasi dari cerpen Danarto, “Godlob” di Taman Surya depan Balaikota Surabaya dan panggung Balai Pemuda. Akan tetapi, Teater Jalanan ini dikritik karena Cuma adegan-adegan fragmen atau letusan pikiran atau protes, yang tidak “nyambung” sebagai/menjadi satu lakon utuh. Dengan gagasan “Teater Jalanan” itulah Akhudiatmendapatkan satu pencerahan sebagai ide untuk judul tulisan pertama naskahnya yang ia beri nama Grafitto. Pada tahun 1972, naskahnya yang berjudul grafitto tersebut memenangkan lomba penulisan naskah sandiwara Indonesia di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun berikutnya, di tahun 1974 dua naskahnya menjadi pemenang kembali di DKJ dengan judul Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratab, 1975 (Bui), 1977 (RE). pada tahun 1973 tidak berhasil di DKJ, tapi sajak panjang Akhudiat, Gerbong-gerbong Tua Pasarsenen menjadi juara dua lomba penulisan puisi Dewan Kesenian Surabaya (DKS).

1 Like