Akar Pemikiran Kritis dalam Analisis Wacana Kritis

Oleh: Ria Kasanova & M. Rohmadi

Pada abad ke-20, filsafat dan ilmu sosial dipengaruhi oleh empat gagasan utama: fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitik, dan aliran Neo-Marxis. (yang seringkali mengaku sebagai pewaris tradisi Marxis yang disesuaikan dengan kondisi zaman). Teori kritis dapat diklasifikasikan sebagai milik kelompok terakhir. Namun, dalam debat filosofis, ada yang percaya bahwa teori kritis tidak lagi Marxis.

Neo-Marxisme adalah aliran pemikiran yang menolak penyempitan dan penyederhanaan ajaran Karl Marx oleh Engels. Upaya Engels untuk menafsirkan ajaran Marx menghasilkan penafsiran yang kemudian menjadi “Marxisme” resmi. Interpretasi Lenin tentang Marxisme didasarkan pada interpretasi Engels. Marxisme-Leninisme pada akhirnya akan berkembang dari interpretasi Lenin. (atau lebih dikenal dengan Komunisme).

Pada abad ke-20, filsafat dan ilmu sosial dipengaruhi oleh empat gagasan utama: fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitik, dan aliran Neo-Marxis. (yang seringkali mengaku sebagai pewaris tradisi Marxis yang disesuaikan dengan kondisi zaman). Teori kritis dapat diklasifikasikan sebagai milik kelompok terakhir. Namun, dalam debat filosofis, ada yang percaya bahwa teori kritis tidak lagi Marxis.

Neo-Marxisme adalah aliran pemikiran yang menolak penyempitan dan penyederhanaan ajaran Karl Marx oleh Engels. Upaya Engels untuk menafsirkan ajaran Marx menghasilkan penafsiran yang kemudian menjadi “Marxisme” resmi. Interpretasi Lenin tentang Marxisme didasarkan pada interpretasi Engels. Marxisme-Leninisme pada akhirnya akan berkembang dari interpretasi Lenin. (atau lebih dikenal dengan Komunisme).

Paradigma kritis pada hakikatnya adalah paradigma ilmiah yang memasukkan epistemologi kritis Marxisme ke dalam metodologi penelitiannya. Fakta menunjukkan bahwa paradigma kritis yang diilhami oleh teori kritis tidak dapat menghindari warisan Marxisme dalam seluruh filsafat pengetahuannya. Di satu sisi, teori kritis adalah aliran ilmu sosial yang didirikan di atas gagasan Karl Marx dan Friedrich Engels. Marxisme-neo marxisme dan teori kritis berdampak pada filsafat pengetahuan berdasarkan paradigma kritis. Paradigma kritis mengajukan asumsi realitas yang tidak netral yang dipengaruhi oleh nilai dan kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu, tujuan utama paradigma kritis adalah emansipasi nilai-nilai dominasi kelompok tertindas. Hal ini akan berpengaruh pada upaya paradigma kritis untuk mengkonstruksi realitas dalam penelitian ilmiah, seperti penelitian atau analisis kritis terhadap teks media sebagai wacana.

Seluruh filosofi pengetahuan paradigma kritis dicirikan oleh sejumlah ciri utama. Ciri pertama pemahaman paradigma kritis terhadap realitas adalah cirinya. Dalam perspektif kritis, realitas sering disebut sebagai realitas semu. Realitas ini tidak inheren, melainkan hasil dari kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang bekerja. Menurut paradigma kritis, realitas tidak terdiri dari harmoni melainkan konflik dan perjuangan sosial.

Ciri kedua paradigma kritis adalah ciri tujuan penelitiannya. Tujuan dari penelitian paradigma kritis adalah untuk menyeimbangkan kembali dunia. Dengan demikian, seorang peneliti paradigma kritis kemungkinan akan terlibat dalam meniadakan hubungan sosial yang sebenarnya, menyanggah mitos, dan menunjukkan bagaimana dunia seharusnya.

Karakteristik ketiga adalah karakteristik sentral dari penelitian paradigma kritis. Fokus penelitian paradigma kritis mengandaikan suatu realitas yang dihubungkan oleh nilai-nilai tertentu. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat antara peneliti dan subjek penelitian. Paling tidak, peneliti diposisikan untuk menjadi aktivis, pembela, atau protagonis intelektual dalam proses transformasi sosial. Dari sini dapat disimpulkan bahwa keputusan etis dan moral dan bahkan keberpihakan merupakan komponen integral dari analisis penelitian.

Ciri keempat dari paradigma kritis adalah bahwa metode dan metodologi penelitiannya berdiri sendiri. Paradigma kritis menekankan interpretasi peneliti terhadap objek kajian. Semua penelitian kritis menggabungkan prosedur dialog. Dialog kritis digunakan untuk memeriksa realitas sosial masa lalu, sekarang, dan masa depan secara lebih mendalam. Ciri keempat ini menempatkan interpretasi sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dari setiap gejala, dalam hal ini media massa sebagai wacana dan teks yang dihasilkannya. Dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak dapat menghindari unsur subjektivitas peneliti dan hal ini dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda terhadap fenomena sosial dari peneliti lain.

Reproduksi realitas dalam sebuah teks/media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa, simbolisasi makna dan politik penandaan. Selain sebagai realitas sosial, bahasa juga dapat dilihat sebagai sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahasa atau satu realitas ingin menandai realitas lain (peristiwa atau pengalaman hidup manusia). Dengan demikian, suatu realitas dapat ditandai secara berbeda pada peristiwa yang sama, atau dapat dikatakan bahwa makna yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama.

Namun, sebuah makna yang diinterpretasikan dan direkonstruksi oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama cenderung mendominasi interpretasi tersebut. Ada kecenderungan suatu makna lebih unggul dan dapat diterima dibandingkan dengan makna lain yang terkesan terpinggirkan. Oleh karena itu, melihat proses bahasa dan makna, sebenarnya kita melihat ranah atau wilayah perjuangan sosial.

Pertarungan sosial tersebut lebih konkret terbentuk dalam sebuah wacana. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa praksis sosial memerlukan makna dan makna tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Makna mempertajam dan mempengaruhi segala sesuatu yang dilakukan seseorang, sehingga segala praktik sosial tidak dapat dipisahkan dari dimensi wacana.

Menurut Santoso, istilah “kritis” yang diasosiasikan dengan “analisis wacana” berkonotasi sebagai berikut: (5) Tiga kritik analisis wacana deskriptif. Analisis wacana kritis bertujuan (1) menganalisis praktik-praktik wacana yang mencerminkan atau mengkonstruksi masalah-masalah sosial; (2) mengkaji alasan pembekuan ideologi dalam bahasa dan menemukan cara untuk mencairkan ideologi yang mengikat bahasa atau kata; (3) meningkatkan kepekaan terhadap ketidakadilan, diskriminasi, prasangka, dan bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan; dan (4) untuk memfasilitasi penghancuran hambatan yang menghambat perubahan sosial.

Asumsi mendasar dari paradigma kritis adalah adanya kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu potensial untuk mengontrol proses komunikasi publik. Ini menyiratkan bahwa, menurut paradigma kritis, “realitas” ada di balik kendali komunikasi publik. Teori kritis mengkaji dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu di seluruh proses komunikasi publik. Bahasa, simbolisasi makna, dan politik penandaan akan berdampak signifikan terhadap reproduksi realitas dalam sebuah teks/media. memeriksa proses bahasa dan makna melibatkan memeriksa domain atau wilayah konflik sosial. Sebuah wacana memberikan formulasi yang lebih konkrit tentang konflik sosial. Makna diperlukan untuk praksis sosial, dan makna tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Makna mempertajam dan mempengaruhi seluruh tindakan seseorang, sehingga tidak mungkin memisahkan semua praktik sosial dari dimensi wacana.

Analisis wacana kritis ada untuk menguraikan kekuatan yang melekat pada teks. Model analisis wacana kritis Van Dijk merupakan salah satu model analisis wacana kritis yang digunakan. Van Dijk berpendapat bahwa tidak cukup menganalisis wacana hanya berdasarkan teks karena teks adalah hasil dari praktik produksi. Van Dijk juga percaya bahwa struktur sosial, dominasi, kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, kognisi atau konsep, dan kesadaran bentuk mempengaruhi teks-teks tertentu.

Biodata Penulis
Ria Kasanova merupakan dosen PBI Universitas Madura & Mahasiswa S3 Universitas Sebelas Maret
M. Rohmadi merupakan salah satu dosen PBI Universitas Sebelas Maret Surakarta

2 Likes