AI School vs Akhlak School: Menengok Dunia Pesantren dan Sekolah Umum

Kuliah mahal-mahal, ternyata sumbernya…dari AI? Niat awal masuk kampus top 10 biar unggul dari sarjana lain, tapi akhirnya semua juga “disetirin” AI? Tapi emang sih, aku sendiri ngerasain banget ketergantungan itu. Cari info, nyari bahan tugas, bahkan nulis pun—lebih cepat pakai AI dibanding nyari-nyari di laman jurnal atau situs resmi yang kadang tampilannya udah bikin ngantuk sebelum baca isinya.Tapi ternyata, masih ada juga tempat-tempat pendidikan yang tetap jalan tanpa harus disuapin teknologi. Mereka pakai “mesin pencari” versi manual: belajar dari guru, kitab, diskusi, bukan dari algoritma. Yes, that’s pesantren.

Di satu sisi ada sekolah dan kampus formal yang makin digital. Semuanya cepat, praktis. Tugas tinggal copas dari AI, presentasi bisa jadi dalam lima menit. Bahkan kadang yang nanya waktu diskusi pun udah settingan, biar nggak ada kejutan dari peserta lain. Di sisi lain ada pesantren—yang mungkin buat sebagian orang kelihatan “jadul”. Tapi justru dari tempat kayak gitu, lahir pribadi-pribadi yang kuat, sopan, dan nggak gampang goyah cuma karena satu komentar viral. Yaa walaupun realitanya, sekolah sambil tidur di kelas juga masih sering kejadian.

Pendidikan formal sering banget ngejar hasil akhir: nilai tinggi, ranking bagus, koleksi sertifikat. Sedangkan di pesantren, prosesnya itu yang ditekankan. Bangun subuh, shalat berjamaah, belajar kitab tebal yang isinya nggak bakal kamu temuin versi pembahasannya di TikTok, sampai hidup bareng dalam satu asrama—itu semua ngelatih mental dan kebiasaan yang nggak semua orang sanggup jalanin.

Aku pribadi ngerasa banget perbedaan atmosfernya. Di dunia kampus dan sekolah umum, gampang banget buat bergantung sama teknologi. Apalagi setelah kenal AI, semuanya terasa instan. Tapi efek sampingnya: makin sering ngerasa cemas kalau internet mati, atau pas AI nggak jawab sesuai harapan.

Takut salah, takut telat, takut kalah cepat—semuanya bikin overthinking. Sementara anak-anak pesantren, mereka hidup tanpa semua itu. Tapi tetap bisa bertahan. Bahkan seringkali mereka punya sesuatu yang susah banget dicari di luar sana: ketenangan batin dan arah hidup yang lebih jelas.

Kenapa sih harus terus dibanding-bandingkan? Gimana kalau kita coba saling belajar? Sekolah formal bisa banyak belajar tentang kedisiplinan dan kekuatan karakter dari pesantren. Dan pesantren, secara perlahan, bisa mulai beradaptasi dengan teknologi—asal nggak sampai kehilangan nilai dasarnya. Karena pada akhirnya, belajar itu bukan soal siapa paling update, tapi siapa yang punya outcome paling besar dan paling kuat di dunia nyata.
Mungkin sih semua ini nggak sesederhana yang aku pikir. Tapi dari pengalamanku dan juga cerita adikku, aku belajar satu hal:
AI bisa jadi roket buat masa depan kita, tapi kalau nggak hati-hati, bisa jadi ranjau juga di langkah berikutnya.