Semoga Aku Bisa, Semoga Aku Mampu, Semoga Aku Bahagia

Banyak-banyak bersyukur untuk tahun yang penuh dengan keringat, air mata dan perjuangan ini. Kesabaranku benar-benar diuji pada fase itu. Hal itu dimulai ketika pengumuman jalur undangan, dimana aku sudah sangat yakin dengan pilihan yang aku buat. Tetapi, pada pukul 15.00 kalimat yang aku harap tidak akan aku temui tahun ini justru menghampiriku secepat itu. Kecewa, marah, sedih itu sudah pasti. Rasanya seakan dikhianati dengan perjuangan 3 tahun ini.
Butuh waktu 2 pekan untuk menerima hal tersebut, dan akhirnya aku sudah bisa menerima itu dengan perlahan-lahan. Selanjutnya, SPAN-PTKIN untuk kedua kalinya aku harus menerima permintaan maaf dan semangat dari website hijau itu. Kecewa dan malu kali ini yang aku alami, bukan menangis, karena sebenarnya aku juga tidak terlalu berharap dengan pilihan itu.
Akhirnya sesuatu yang sangat aku takuti perlahan mendekati aku, yaitu belajar keras. Hitung, nalar, pemahaman yang harus aku kuasai dalam waktu kurang dari satu bulan, awalnya aku ingin menyerah. Semenjak virus kurang ajar itu datang, aku jadi lupa, aku jadi tidak bergairah untuk menatap tulisan-tulisan yang memaksaku untuk berpikir itu. Bersyukurnya ternyata aku bisa melalui itu, aku bisa rutin belajar 12 jam per hari untuk menyelesaikan soal-soal sulit yang ada dalam genggamanku itu. Perlahan aku mulai memahami pertanyaan dan pemecahan masalah itu. Akhirnya hari ketika aku ditantang untuk melakukan seleksi tertulis masuk perguruan tinggi. Khawatir dan panik selalu datang, aku coba berusaha setenang mungkin untuk berpikir rasional. Hampir lebih dari 3 jam aku bisa menyelesaikan persoalan sulit itu.
Hari-hari berlalu, akhirnya pengumuman dan lagi-lagi si penyemangat itu datang kembali. Hancur, marah, nangis, malu, capek, perasaan selai bahagia bercampur aduk. Rasanya aku tidak mau lagi menatap dunia. Berpikir dan beristikharah, akhirnya aku mengungkapkan aku akan menunda impianku untuk tahun depan. Orang yang sangat saya hormati dan cintai, penyemangat hidup saya, tidak menyetujui keputusan saya.
“Kamu jangan berpikir untuk menunda, kamu harus mencoba dulu, jangan sampai kamu tidak kuliah tahun ini, kamu kalo menunda pasti akan susah buat kedepannya, kamu pusing setelah dapat tidak apa-apa, daripada pusing setelah dapat”, kata beliau.
Tepat sekali, aku sangat bingung, karena sudah terdoktrin bahwa jika masuk melalui mandiri akan memakan biaya yang sangat banyak. Kekhawatiran terbesar saya adalah hal tersebut. Akhirnya dengan penuh keberanian dan pemikiran saya mengikuti arahan tersebut. Saya mulai belajar kembali, meyerap materi-materi yang telah saya pelajari, latihan soal, selama satu minggu terus bergelut dengan soal-soal.
Saat itu masih pagi, aku baru bangun tidur langsung membuka dan masih tidak percaya, saya diterima, senang, bangga, dan bahagia aku berteriak keras, aku diterima. Ucapan syukur yang bisa aku ungkapkan pagi itu. Setelah itu aku mulai mendaftar ulang untuk bisa mendapatkan akses menjadi mahasiswa di universitas itu.
Sepertinya inilah yang dinamakan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ternyata doktrin yang telah tertanam di kepalaku adalah sesuatu yang terlalu dibuat-buat saja. Aku bersyukur ternyata tidak sebesar itu bayaran yang harus saya berikan dari mandiri ini. Semakin bertambah rasa syukur saya. Semenjak itu, saya mulai berusaha untuk selalu berusaha dan berpikir positif, karena saya percaya jika kita berusaha keras dan bersabar kita akan mendaptkan sesuatu yang lebih besar dari Tuhan untuk kita.