Semakin Abstrak Semakin Istimewa

1

Halo sobat mijil, tulisan ini tentang monolog batinku. Tentang percakapan imajinasi dengan pilihanku.

Saat kecil, aku ingin menjadi dokter karena aku sering bolak balik rumah sakit. Entah itu menjenguk atau dijenguk. Aku terkagum dengan profesionalitas dokter dan perawat yang ada di sana. Aku ingin seperti mereka.

Saat SD, aku bertemu Matematika. Ia menyukaiku dan aku menyukainya. Penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian terasa seperti teman dekat. Mereka memberiku teka-teki dan aku penasaran untuk menyelesaikannya. Mereka mulai menunjukkan sifat-sifat uniknya. Aku sampai tertawa konyol dengan si angka 9. Aku baru sadar, kalau setiap bilangan bulat satu digit dikalikan 9, hasil penjumlahan satuan dan puluhannya akan sama dengan sembilan.

Saat SMP, aku mengukuti ekskul BSMR (mirip PMR). Aku diajari cara melakukan pertolongan pertama, melakukan RJP, menggunakan tabung oksigen, dan pengetahuan lainnya seputar kesehatan. Aku merasa bangga ketika berhasil membantu temanku memasang nebulizer. Aku terenyuh saat dia menggenggam lemah tanganku dan berucap, ‘terima kasih’. Aku memantapkan hati, aku ingin jadi dokter.

Saat SMP pula, Matematika kembali menarik perhatianku. Kali ini ia mengenalkanku dengan si pemalu x dan y yang sejak lahir dipaksa untuk menyembunyikan identitasnya. Aku juga bertemu dengan phi yang desimalnya tak berujung. Ketika aku bertanya, ‘siapa phi yang sebenarnya? 3.14 atau 22/7?’, phi hanya tersenyum.

Saat SMA, aku bertemu dengan anak buah IPA bernama Biologi. Biologi langsung memaksaku menghafal nama latin teman-temannnya. Mulai dari virus sampai dinosaurus. Aku bilang padanya kalau aku jenuh. Biologi menjawab, ‘ini belum seberapa. Masih banyak yang harus kamu hafal. Tapi aku yakin kamu akan suka ini’.

Biologi menggandengku dan mengajakku melihat proses digesti, respirasi, dan ekskresi. Aku dipakaikan jas lab dan masker olehnya. Biologi berbisik, ‘Lihat? Kau calon dokter, benar-benar pantas menggunakannya’.

Saat SMA, matematika mengajakku bertemu dengan si Absolute, dua garis tegak penghilang negatif. Aku juga bertemu dengan pasangan romantis Eksponen-Logaritma, si kembar tiga sin cos tan dan materi lainnya. Aku bilang ke Matematika, ‘soal-soalmu semakin abstrak’. Matematika tertawa, ‘Bukankah ini menyenangkan? Semakin abstrak semakin istimewa’.

Di penghujung kelas 10, Biologi memberiku nilai 7 untuk UAS. Sedangkan matematika memberiku nilai 9. Aku berkata pada Biologi, ‘maaf, aku berhenti memperjuangkanmu. Aku tidak cocok denganmu’. Biologi tersenyum menepuk bahuku dan menjawab, ‘setidaknya jangan kecewakan Matematika.’

Aku melepas keinginanku menjadi dokter dan memberi porsi belajar lebih banyak pada matematika. ‘Di perguruan tinggi nanti, kau akan menemui sisi lain dariku. Aku akan semakin abstrak. Kau yakin memilihku? ’ Tanyanya suatu hari.

‘Iya. Seperti katamu, semakin abstrak semakin istimewa.’ Jawabku mantab.

‘Lalu, dimana kau akan menemuiku? FMIPA atau FKIP?’

‘FKIP, aku akan mengajarkan tentangmu dan membuat murid-muridku tahu betapa menariknya dirimu.’

Aku berhasil masuk ke daftar siswa eligible. Untuk memenangkan SNMPTN, aku harus menyesuaikan nilaiku dengan PTN yang kutuju. Dengan segala pertimbangan, aku menjatuhkan pilihanku pada Pendidikan Matematika UNS. Senin sore, 22 Maret 2021, warna biru mendominasi laman web SNMPTN.

Matematika menemuiku dan berkata, ‘Selamat ya, sampai bertemu di Pendidikan Matematika’