foto oleh University of Kent
Perempuan seringkali mendapat banyak tuntutan sosial dari lingkungannya. Tuntutan untuk bisa masak, bisa berdandan, harus multitasking, dan masih banyak lagi. Jelas sekali bahwa perempuan dibebankan oleh hal-hal yang dinormalisasikan sebagai keharusan agar mereka dapat disebut sebagai perempuan, atau istilahnya memenuhi WomenGoals. Tuntutan yang mereka terima, tak ayal mampu mengubah beberapa perspektif perempuan terhadap suatu hal yang harusnya tidak dinormalisasikan, justru menjadi patokan agar mereka dianggap sukses menjadi perempuan. Salah satunya adalah dengan menormalisasikan tindakan seksisme.
Seperti yang dilansir dalam britannica, seksisme adalah prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender, terutama terhadap perempuan. Seksisme bisa menjadi keyakinan bahwa satu jenis kelamin lebih unggul atau lebih berharga dibanding jenis kelamin lainnya. Hal ini memberlakukan adanya batasan pada apa yang dapat dan harus dilakukan oleh laki-laki, juga apa yang dapat dan harus dilakukan oleh perempuan. Seksisme memang dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Tapi, mayoritas tindakan seksisme banyak dialami dan didapatkan perempuan hampir setiap harinya.
Seksisme adalah akar penyebab adanya ketidaksetaraan gender di seluruh dunia. Tindakan seksis merupakan tindakan yang membingkai satu jenis kelamin atau gender sebagai inferior atau bernilai rendah. Tindakan seksis dapat disampaikan melalui perilaku, pidato, menulis, gambar, gestur, hukum dan kebijakan, juga praktik tradisi. Kita akan membahas seksisme dari sudut pandang perempuan.
Seksisme dalam masyarakat kita seringkali menjadi batasan untuk ruang gerak perempuan. Hal ini biasa dilakukan untuk mempertahankan patriarki, atau memberikan pemahaman bahwa laki-laki yang mendominasi kehidupan perempuan. Jadi seakan-akan mereka menganggap bahwa perempuan adalah manusia kelas 2 yang lemah diberbagai aspek, dan laki-laki adalah makhluk superior yang digadang-gadang sebagai pelindung. Lalu, apa aja sih wujud seksisme yang sering perempuan dapat setiap harinya?
Nyinyir perkara nikah dan tekanan untuk memiliki anak
“Kamu udah lulus kuliah, kapan nikah?” baru 2 bulan menikah, tiba-tiba sudah ditanya lagi “Kapan punya momongan?”
Ungkapan sederhana satu ini sering sekali membuat perempuan yang disuguhkan pertanyaan semacam itu terdiam. Kalaupun menjawab, pasti cukup berbelit-belit. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga sering mendapat pertanyaan semacam ini. Momen-momen yang sering sekali ditemukannya pertanyaan seperti ini adalah ketika Hari Raya atau ketika ada acara arisan keluarga.
Para sesepuh akan mencecar pertanyaan bertubi-tubi seakan ritme kehidupan setelah lulus sarjana adalah untuk menikah, terutama untuk perempuan.
Perempuan hukumnya wajib bisa masak
Sudah masuk jam makan siang di kantor, kamu yang selalu delivery order tiba-tiba dijulidin teman sekantor, “Order mulu, ini ya…perempuan tuh harus bisa masak, biar nyenengin suami”. Ungkapan yang seperti ini pada dasarnya tidak hanya terjadi di lingkup kerja, tapi juga di lingkungan tempat tinggal. Biasanya perempuan dianggap gagal menjadi perempuan kalau dia gak bisa masak. Padahal kegiatan memasak tuh basic skill yang tidak hanya dilakukan perempuan. Suami juga punya basic skill yang sama, tapi kenapa tidak diwajibkan?
Perempuan dilarang ngomong kasar
Untuk hal semacam “omongan kasar” sepertinya bukan hanya perempuan yang dilarang. Laki-laki juga tidak diperbolehkan bicara kasar. Namun, karena masyarakat kita itu adalah masyarakat yang mengglorifikasikan bahwa perempuan harus lemah lembut, seakan-akan ketika marah pun, kita diminta untuk tetap lembut.
Beda lagi ceritanya jika itu dilakukan oleh laki-laki. Mereka seakan fine-fine aja ketika berkata kasar. Padahal, perkataan mereka juga bisa menyakiti atau membuat orang lain terintimidasi.
Nah, dari sini kita ketahui bahwa masyarakat kita masih sering tidak sadar bahwa tindakan atau perkataan mereka mengarah pada seksisme. Karena sudah menjadi hal yang “lumrah”, maka banyak perempuan yang akhirnya menormalisasikan diskriminasi gender yang mereka dapat. Meskipun terdengar sepele, jika dibiarkan dan dinormalisasikan, ide-ide yang seksis akan bertransformasi menjadi aksi seksis.
Menurut Medical News Today, seksisme dikategorikan menjadi 2, yaitu hostile sexism dan benelovent sexism. Hostile sexism dianggap sebagai perilaku secara terbuka yang memusuhi kelompok perempuan dengan tujuan untuk menjaga dominasi laki-laki dan diekspresikan dengan cara yang lebih ekstrim seperti pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender. Sedangkan benelovent sexism merupakan seksisme tidak terlihat dan cenderung ke arah positif, tapi sebenarnya juga berbahaya. Benelovent sexism cenderung manipulatif, seakan laki-laki tugasnya adalah melindungi perempuan. Laki-laki akan datang seolah-olah dia adalah gentleman yang memproteksi perempuan. Padahal, lagi-lagi tujuannya adalah untuk memposisikan laki-laki di atas perempuan.
Kalau kita sebagai perempuan menormalisasikan benelovent sexism, secara tidak sadar kita akan menerima atau justru mempromosikan ide-ide seksis yang akhirnya akan menjadi budaya di masyarakat kita. Dan secara tidak langsung kita justru memperkuat gender inequality.