Sebesek Getuk untuk Sri
Karya : Annisa Tiara Nurinda Mulia Rahardja
“Nduk, ambilkan ketela yang paklikmu bawakan!” perintah eyang dengan lembut sedikit berteriak agar suaranya dapat didengar olehku yang sedang asik menggarap skripsi.
“Nggih, Eyang.” Jawabku dengan patuh.
Namaku Sri. Aku adalah mahasiswi semester akhir. Aku tinggal bersama eyang sejak aku berusia 5 tahun, ayah dan ibuku sudah lama bercerai dan sampai saat ini aku tidak tahu keberadaan ayah dan ibuku, bahkan untuk sekadar tahu apakah mereka masih hidup pun aku tidak tahu.
Eyang hanyalah pembuat getuk yang setiap harinya dititipkan ke pasar dan warung-warung dekat rumah, sehari-hari kami hanya mengandalkan dana pensiun mbah kakung yang tentunya jauh dari kata cukup. Beruntung aku mendapat beasiswa, jika tidak, mungkin aku tidak akan bisa menikmati bangku kuliah.
“Ketela dari paklik ayu-ayu, Eyang.” Ucapku sambil menyortir ketela. Paklik memang selalu memberikan ketela berkualitas, ketela-ketela ini pastilah baru saja dipanen, teksturnya masih keras, batangnya gendut, dan warnanya yang putih segar. Apabila sudah dikukus ketela ini akan memiliki tekstur yang empuk, kami menyebutnya mempur.
Eyang sudah lama membuat getuk. Sejak beliau masih remaja. Kata eyang, dulu, rata-rata orang kampung mengolah ketela sebagai pengganti beras yang saat itu sulit ditemukan. Bosan dengan bentuk ketela, seseorang kemudian berinovasi mengolah ketela menjadi getuk. Saat itu getuk belum warna-warni seperti yang biasa kita makan, variannya pun tidak beragam, dulu getuk hanyalah ketela kukus yang ditumbuk kemudian diberi gula dan parutan kelapa.
“Nduk, kamu kan orang pinter, coba ceritakan apa yang bisa kamu ambil dari getuk ini?” tanya eyang membuka atmosfer obrolan.
“Kita harus bisa terus berinovasi, Eyang.” Jawabku dengan yakin.
“Bukan hanya itu, Nduk.”
“Ada kesederhanaan dalam getuk itu. Kamu tiap hari lihat eyang membuat getuk kan, Sri? Coba kamu perhatikan bahan dan bagaimana cara eyang membuat, sederhana, kan?” Jelas eyang.
Ya. Setelah ku pikirkan, getuk itu penuh kesederhanaan, bahan yang digunakan sederhana dan mudah ditemukan, hanya ketela, gula, dan kepala parut. Cara membuatnya pun sangat mudah, ketela dikukus, dihaluskan, lalu dimakan dengan taburan parutan kelapa. Aku pikir semua orang bisa membuat getuk, tapi tetap tidak seenak buatan eyang.
“Nduk, cah ayu.” Panggil eyang penuh lembut sambil menatap dalam mataku. Aku menatap mata eyang yang saat ini sudah mulai sayu, kini garis-garis halus itu makin tegas menghiasi wajah tuanya. Meski begitu, eyang masih sangat ayu.
“Jadilah orang yang penuh keserhanaan dan nrimo ing pandum, Sri. Pitutur nrimo ing pandum ini memang tidak mudah untuk dilakukan. Tapi kamu harus belajar, Nduk. Sederhana itu bukan berarti kita tidak boleh kaya dan untuk belajar menjadi seseorang yang nrimo ing pandum-pun tidak harus melarat.” Ucap eyang menasihatiku sambil masih menatap mataku. Tatapannya semakin dalam seolah eyang sedang mencoba memasukiku.
“Nggih, Eyang.” Jawabku penuh patuh. Sebenarnya ada banyak kata yang ingin aku ucapkan selain “Nggih, Eyang.” Tapi entah mengapa saat itu rangkaian kata di kepalaku menjadi sangat acakan-acakan.
Selesai membantu membuat getuk, aku memutuskan untuk melanjutkan garapan skripsiku. Semenjak menginjak semester akhir ini aku jadi sangat jarang membantu eyang membuat getuk, walaupun eyang tidak pernah marah tapi aku merasa sangat kasihan dengan eyang, di hari tuanya seharusnya beliau bisa menikmati tontonan ketoprak yang sekarang bisa disiarkan di televisi. Aku pernah meminta eyang untuk berhenti membuat getuk, tapi jawaban eyang selalu “Aku senang membuat getuk, Nduk. Mbah kakungmu suka dengan getukku.”
Ya. Dulu eyang dan mbah kakung bertemu karena getuk ini. Mbah kakung adalah pelanggan setia eyang. Saat itu eyang masih remaja, eyang menjual getuknya di sepanjang jalan ia menuju ke pasar. Kata eyang “Dulu mbah kakungmu itu rela datang pagi hanya untuk membeli getuk dan bertemu denganku, Nduk. Kalau aku tidak jualan, mbah kakung akan datang ke rumah membawakan ketela dan kelapa, tapi pulangnya ya tetap minta getukku.” Eyang bercerita penuh senyum seperti remaja sedang kasmaran.
Hari ini eyang mengajakku ziarah ke makam mbah kakung. Kami sengaja berjalan untuk menikmati udara sore dan menyapa tetangga. Jarak rumah ke makam tidak terlalu jauh, seharusnya mbah kakung bisa dimakamkan ke kampung halamannya di kota Y, tapi eyang tidak mengiyakan karena eyang ingin sering-sering mengunjungi makam mbah kakung.
Aku gandeng tangan eyang. Kulitnya jelas mulai kendur. Telapak tangannya kasar, mungkin karena terlalu sering bekerja keras. Tapi, tangan inilah yang sudah menyisir rambut hitamku, tangan inilah yang membuat getuk paling enak, dan tangan inilah yang selalu menguatkan aku. Sepanjang jalan menuju makam tidak kami habiskan untuk mengobrol. Tumben. Kami diam karena sama-sama menikmati udara sore.
Sampainya di makam eyang langsung membersihkan sekitaran makam mbah kakung dengan sapu lidi yang dibawa dari rumah, sedang aku mencabuti rumput-rumput liar yang mulai tumbuh. Eyang kemudian mendekati papan nama yang tertulis nama suaminya. Diusapnya papan nama itu dengan lembut.
“Kung, aku masih membuat getuk. Getuk kesukaanmu. Getuk yang katamu adalah getuk paling enak.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Ada Sri yang membantuku, Kung. Sekarang Sri sudah akan tamat. Besok Sri akan jadi guru. Seperti keinginanmu, to, Kung?” tak terasa air mataku pun mulai menetes. Ikut aku rasakan kerinduan eyang pada mbah kakung.
“Beberapa kali Sri memintaku untuk berhenti membuat getuk. Aku ndak mau, karena kamu senang dengan getukku, to, Kung? Katamu keringat yang keluar dari telapak tanganku manis.” Air mata eyang mungkin sudah tidak kuat menahan diri. Air itu keluar dari mata eyang yang kini makin sayu. Aku belum pernah melihat eyang sesedih ini ketika mengunjungi makam mbah kakung. Mungkin karena sudah sangat rindu.
Kini eyang beralih menatapku. “Sri, kamu harus lanjutkan tradisi getuk ini. Kamu tidak harus berjualan sepertiku. Cukup kenalkan pada anakmu, nanti.”
“Nggih, Eyang.” Lagi-lagi hanya kata itu yang terucap. Rangkaian kata yang ada di otakku tiba-tiba menjadi sangat acak-acakan.
Sesampainya di rumah eyang langsung memutuskan untuk beristirahat dengan mata sembabnya. Aku tidak ingin mengganggu karena biarlah eyang meluapkan semua emosinya. Sedang aku segera menuju ke pawon untuk menyiapkan makan malam. Mulai kupotong bawang merah, bawang putih, dan sedikit cabai. Ada sedikit tempe di lemari es. Aku coba untuk mengolahnya menjadi orek tempe. Kesukaan eyang.
“Nduk, ada sebesek getuk di meja makan, itu untukmu, Sri. Eyang sengaja menyisakannya.” Katanya dengan lembut dan diakhiri dengan suara yang makin lirih.
“Nggih, Eyang.” Jawabku.
Orek tempe siap untuk disantap. Sudah aku rapikan tempat untuk makan malam. Sudah aku siapkan nasi untuk eyang agar tidak terlalu panas. Sudah kusiapkan segelas teh tawar hangat untuk eyang. Malam ini, semoga eyang senang.
Aku coba untuk menghampiri eyang di kamar. Eyang tidur membelakangiku, saat itu aku hanya melihat punggungnya. Rasanya damai sekali melihat eyang tidur saat itu hingga aku tidak tega untuk membangunkan. Aku sentuh lembut lengannya. Dingin. Aku coba goyangkan dengan hati-hati. Tidak ada respon. Aku coba untuk membetulkan posisi tidur eyang. Tidak ada respon. Aku perhatikan perutnya. Perutnya tidak kembang kempis seperti biasa. Aku salah lihat. Aku coba dekatkan telingaku ke hidung eyang. Tidak bernafas. Aku lemas.
Berdasarkan keputusan keluarga, eyang akan langsung dimakamkan. Eyang dimakamkan di sebelah makam mbah kakung. Malam ini, rasanya sangat sulit menerima kenyataan. Besok pagi aku sudah tidak membuatkan teh tawar hangat untuk eyang. Besok pagi aku tidak harus membantu eyang membuat getuk. besok pagi aku tidak akan melihat senyum eyang lagi.
Eyang, hari ini aku makan orek tempenya sendiri. Maaf, eyang, teh tawarnya sudah tidak hangat. Terima kasih, eyang, karena di hari terakhirpun eyang masih sempat membuat getuk untuk Sri. Getuknya enak sekali, eyang. Entah apakah karena ini getuk terakhirmu, tapi getuk ini rasanya jadi sangat enak.
Kung, Sri sekarang sudah menjadi guru, seperti keinginan mbah kakung dulu. Eyang, sekarang Sri sudah berkeluarga dengan suami yang gemati dan dua anak-anak yang lucu. Dua cicitmu ini sangat gemas, wajahnya tidak mirip denganku, tapi mirip dengan ayahnya yang tampan. Eyang, aku tidak berjualan getuk seperti eyang, tapi aku mengenalkan getuk pada anak-anakku. Suami dan anak-anakku suka dengan getuk buatanku. Tapi, mereka pasti akan lebih suka dengan getuk buatanmu. Eyang, mbah kung, terima kasih sudah mengenalkanku pada kesederhanaan getuk.