Dalam laju perkembangan informasi saat ini masyarakat Nahdliyyin tengah ramai dibahas, tetapi dalam bahasan umum bukan pada kebaikannya. Banyak kasus yang mengurangi pandangan baik terhadap kaum Nahdliyyin, seperti polemik nasab, oknum kyai ngawur, fatwa konsensi tambang, cletukan kata pem-wahabian pencinta alam, dan budaya tawadhu’ yang sering dikatakan feodalisme menurut pegiat media sosial saat ini. Dalam kasus ini entah atas dasar apa yang membuat beliau-beliau sampai mengeluarkan fatwa yang dirasa merusak alam dan mengundang banyak cibiran pada semua kaum Nahdliyyin.
Nasab dalam dunia Nahdliyyin, lebih dari sekedar urutan nama. Ia adalah kode reedem sosial, stempel kebanggaan, kadang juga beban tak kasat mata. Bagaimana tidak jika anak dari orang terpandang akan selalu dituntut ini itu. Dalam praktiknya Anak Kiai, cucu Habaib, atau trah mbah sepuh pesantren umumnya punya pintu-pintu yang terbuka lebih dulu, bahkan sebelum pikirannya tumbuh. Tak heran, yang tersorot media sebagai tokoh yang terlanjur viral tetapi kosong isinya. Hal ini yang menjadi sorotan publik. Beberapa oknum gus atau anak Kiai yang terlanjur terkenal dengan segala tindak-tanduknya. Mungkin ini cuma minoritas tetapi media seakan selalu menyoroti sebuah bagian dari kaum ini. Banyak para manusia yang hanya numpang nama dan numpang hidup di dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Masyarakat akar rumput yang senantiasa manut, pasif, dan ikhlas bekerja seakan tidak diberi tempat.
Pada lapisan masyarakat Nahdliyyin akar rumput yang bertahun-tahun setia mengurus tahlilan RT, mengurusi pengajian kampung, pengisi kotak amal musala secara sukarela. Mereka tak punya gelar kehormatan, tak punya jalur asli habaib, bahkan tak paham posisi mereka dalam pohon silsilah. Dengan hal tersebut bagaimana kebaikan demi kebaikan ini akan terangkat jika tidak ada lobby seperti nasab yang akan membumbungkan pamornya. Nasab mereka mungkin putus atau memang tak sempat ditulis. Tapi nasib mereka? kerap jadi bumerang dari sistem keagamaan yang terlalu kagum pada darah biru. Mereka ada, mereka bekerja, mereka mencintai Islam ala NU, tapi nyaris tak punya panggung. Mereka ditulis dalam catatan administratif, tapi dilupakan dalam sejarah kebesaran.
Di titik ini pertanyaannya bukan soal siapa anak siapa, tetapi apakah keturunan Nabi menjamin pewarisan nilai? Apakah anak kiai pasti mewarisi keberkahan, apakah selalu mewarisi akhlak luhur para pendahulunya? Apakah nasab harus selalu menentukan nasib? Dan diluar sana, di pojok-pojok tempat sujud yang lembab dan mimbar pengajian yang selalu apa adanya, masih banyak Nahdliyyin yang menyalakan lilin kecil, mempelajari kitab dengan kertas kuning, menggemakan mahallul qiyam, mencintai para darah biru yang belum tentu lebih layak dihormati daripada diri mereka sendiri. Mereka selalu ada, mereka selalu bersemangat dalam menghidupi segala kegiatan dan kajian.
Sebenarnya darimana budaya ini berasal? Apakah dengan mengatasnamakan dirinya Islam Tradisionalis lantas budaya kagum pada darah biru yang diwariskan? Mungkin Kita butuh “Ijtihad kultural baru” bahwa darah mulia tak seharusnya menindas derita. Bahwa menjadi Nahdliyyin tak butuh silsilah, cukup istiqomah. Setidaknya kita bisa mulai bicara. Tentang redistribusi kehormatan, tentang kesetaraan hak spiritual, tentang Nahdliyyin yang bukan milik nama keluarga tertentu, melainkan milik mereka yang terus menjaga warisan dengan kerja, doa, dan diam-diam menangis diatas sajadah.