Meninjau Struktur Intrinsik Cerpen Kiai Sili karya Ida Fitri pada Koran Jawa Pos


Sumber: jawapos.com

Sebuah karya sastra pasti memiliki unsur intrinsik yang menjadi fondasi dalam pembangunannya. Unsur-unsur ini mencakup tema, tokoh, alur, setting, sudut pandang, dan gaya bahasa, yang semuanya saling terkait untuk menciptakan makna dan pengalaman bagi pembaca. Misalnya, tema yang diangkat dalam sebuah novel dapat memberikan gambaran tentang kondisi sosial atau psikologis masyarakat, sementara karakter yang kuat dan alur yang menarik akan membawa pembaca lebih dalam ke dalam cerita. Dengan memahami unsur intrinsik ini, pembaca dapat lebih menghargai kompleksitas dan keindahan karya sastra, serta menggali pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, analisis terhadap unsur-unsur tersebut sangat penting untuk memahami keseluruhan karya sastra secara mendalam.

Mukadimah

Berikut adalah pengertian karya sastra menurut beberapa tokoh:

  1. Ahmad Badrun: Karya sastra adalah suatu kegiatan seni yang menggunakan bahasa dan
    simbol sebagai alatnya, bersifat imajinatif dan berfungsi untuk menyampaikan gagasan serta
    perasaan penulis.
  2. Panuti Sudjiman: Ia mendefinisikan sastra sebagai bentuk karya lisan dan tulisan yang
    memiliki keunggulan, seperti keindahan, keartistikan, dan keorisinilan dari segi isi dan
    ungkapannya.
  3. Terry Eagleton: Menurut Eagleton, karya sastra adalah tulisan indah yang mencatatkan sesuatu dalam bentuk bahasa yang didalamkan dan dipanjangpendekan, serta diolah dengan alat bahasa.

Definisi-definisi ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak hanya sekadar tulisan, tetapi juga merupakan ekspresi kompleks dari pengalaman manusia yang dikemas dalam bentuk bahasa yang indah dan bermakna.

Cerpen Kiai Sili ini ditulis oleh Ida Fitri yang diterbitkan oleh Koran Jawa Pos dan dapat ditemukan pada halaman ke-5. Cerpen yang diterbitkan pada hari Sabtu Wage, 19 Oktober 2024 ini menceritakan seorang tokoh yang awalnya hidup tanpa nama da merasa tersisihkan. Ia kemudian mendapatkan nama baru, “Mulyono” kemudian berjuang untuk mengubah nasibnya dengan memanfaatkan ketidaktahuan orang lain. Tokoh ini berhasil meraih kekuasaan dengan cara manipulasi, berpura-pura sederhana, dan mematuhi norma, serta menjadikan moral sebagai alat untuk mendapatkan kepercayaan. Dia menyesuaikan diri dengan norma dan nilai moral untuk mendapatkan kepercayaan, tetapi di balik semua itu, ia menyimpan dendam dan ambisi untuk membalas dunia yang sebelumnya menindasnya. Namun, ambisinya perlahan menjadikannya bagian dari sistem yang korup dan menindas. Akhirnya, tokoh ini menghadapi pemberontakan dari rakyat, dipicu oleh dosa-dosanya di masa lalu. Ketika harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya, ia kehilangan kemampuan untuk berpura-pura, dan jatuh kembali ke wujud aslinya yaitu seekor sapi. Transformasi ini melambangkan simbol kehilangan kemanusiaan akibat perilaku dan ambisi yang mengabaikan
nilai-nilai moral.

Isi

  1. Tema

Tema yang diangkat dalam karya ini menampilkan beragam perspektif, terutama dalam hal kritik sosial dan politik. Pada tema dikotomis antara tradisional dan non- tradisional, digambarkan bagaimana tokoh perempuan dari desa berhasil meraih kepercayaan rakyat demi ambisi politiknya, yang mencerminkan adanya manipulasi sosial serta perebutan kekuasaan. Sementara itu, pada tingkat pengalaman jiwa, khususnya tema sosial, kekuasaan digambarkan melalui karakter Kiai Sili yang menggunakan kesederhanaannya sebagai cara untuk mempertahankan hierarki sosial. Sedangkan pada tema keutamaan, cerpen ini mengkritik praktik korupsi dan dampaknya bagi masyarakat, dengan penekanan pada ambisi kekuasaan di Indonesia yang dipenuhi dengan tindakan manipulatif.

  1. Pemplotan

Cerpen Kiai Sili memiliki pemplotan yang terbagi ke dalam tiga bagian, yakni berdasarkan waktu, kriteria jumlah, dan kepadatan. Cerpen ini menggunakan alur maju karena menampilkan peristiwa yang tersusun secara runtut dari awal, tengah, hingga akhir cerita. Pada bagian awal, diceritakan kehidupan Mulyono semasa kecil, diikuti perjalanan awal kariernya di dunia politik, hingga akhirnya digambarkan akhir masa jabatannya.

Pemplotan cerpen ini dapat dikategorikan sebagai plot tunggal karena fokus cerita hanya mengikuti perjalanan hidup satu tokoh utama, yaitu Mulyono, beserta berbagai konflik dan penyelesaiannya. Beberapa konflik yang dialami oleh Mulyono meliputi kemarahannya terhadap orang-orang yang memaksanya bekerja di ladang, perseteruannya dengan seorang reje yang menuntut ganti rugi atas berak musang, serta konfliknya dengan seorang wanita paruh baya. Seluruh konflik tersebut memiliki kaitan erat dengan perkembangan cerita dan karakter Mulyono.

Selain itu, cerpen ini juga dapat dikategorikan sebagai plot padat karena seluruh peristiwa yang dialami tokoh utama diceritakan secara ringkas, cepat, dan saling berkaitan erat. Contohnya, pertemuan Mulyono dengan seorang wanita paruh baya ternyata memiliki hubungan signifikan dengan kemajuan karier politiknya, sehingga setiap peristiwa dalam cerpen ini berkontribusi langsung terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.

  1. Penokohan

Dalam kisah ini, Mulyono muncul sebagai tokoh utama yang menggerakkan alur cerita hingga tuntas. Perjalanan hidupnya dimulai dari kondisi sebagai rakyat kecil yang tertindas, hingga akhirnya memperoleh pengakuan atas perjuangannya di kancah nasional. Mulyono digambarkan sebagai tokoh bulat dengan karakter yang kokoh dan konsisten. Keberanian dan ketabahannya dalam menghadapi berbagai rintangan menjadi faktor penting yang membentuk perjalanannya. Sebagai protagonis, Mulyono menunjukkan peran sentralnya ketika ia berusaha menyelesaikan konflik kompleks terkait pelanggaran hak asasi manusia.

Sementara itu, tokoh-tokoh pendukung seperti Arwa, seorang perempuan paruh baya, Fufufafa, dan Winara memberikan dinamika tersendiri dalam cerita. Arwa menjadi sosok yang mendukung perjuangan Mulyono, sementara Winara hadir sebagai sekutu yang membantu Mulyono mencapai keadilan. Sebaliknya, Wanita Paro Baya berperan sebagai antagonis utama yang menghambat perjuangan Mulyono. Tokoh ini digambarkan penuh intrik dan memiliki kepentingan tersembunyi, sehingga menjadi rintangan terbesar bagi Mulyono. Keberadaan para tokoh pendukung dan antagonis ini menciptakan konflik yang kuat, membuat cerita semakin hidup dan mampu membangkitkan emosi pembaca.

Ida Fitri dalam cerpen “Kyai Sili” menggabungkan dua teknik pelukisan tokoh yang umum, yaitu ekspositori dan dramatik. Teknik ekspositori ditandai dengan deskripsi langsung mengenai sifat atau karakter tokoh, seperti pada kalimat “Pakaian ku yang sederhana pakaian yang membuat mereka iba hati”. Kalimat ini secara eksplisit menggambarkan kesan yang timbul pada orang lain terhadap tokoh.

Sementara itu, teknik dramatik dalam cerpen ini lebih kaya, ditunjukkan melalui berbagai cara. Pertama, melalui teknik cakapan, seperti dialog antara tokoh utama dan ibunya: “Aku tanya ibu iya menjawab ‘jangan berlebihan,’ lain kali ‘jangan aneh-aneh’”. Dialog ini merefleksikan sikap dan kepribadian tokoh. Kedua, melalui teknik tingkah laku, seperti tindakan fisik tokoh saat menolong pelanggan: “Lantas kupeluk belakang, kutekan bagian ulu hatinya dengan kedua jempolku, hingga potongan gudeg terbang keluar”. Tindakan ini menggambarkan kepedulian dan keahlian tokoh. Terakhir, teknik reaksi tokoh juga terlihat jelas, misalnya saat Mulyono menghadapi pelanggan yang kecewa: “Saat mereka kecewa dengan perabot dari kedaiku, aku meminta maaf, basa-basi, menawarkan ganti rugi, membicarakan kesukaran hidup, kesusuahanku menemukan kayu bermutu, uang keamanan yang aku setor, dan ajaibnya mereka lupa pada kekecewaan mereka padaku”. Reaksi ini menunjukkan karakter Mulyono yang sabar dan bijaksana.

Dengan menggabungkan kedua teknik ini, Ida Fitri berhasil menghadirkan tokoh Kyai Sili sebagai sosok yang kompleks dan mendalam, sehingga pembaca dapat lebih memahami motivasi dan perilakunya.
6. Pelataran
Pada cerpen Kiai Sili terdapat latar tempat, latar waktu, dan latar sosial di dalam cerpen tersebut. Latar tempat pada cerpen Kiai Sili antara lain berada di Pinggir Jalan, Bantaran Sungai, Sawah dan Ladang, Kaki Gunung Burni Telong, Warung Gudeg Mbak Yuh, serta Istana. Terdapat 3 latar waktu yang disebutkan dalam cerpen Kiai Sili yaitu pada sore hari, pada musim hujan tahun 1986, dan pada pagi hari.

Sedangkan latar suasana yang dalam Cerpen Kiai Sili yaitu kemiskinan yang digambarkan dengan banyak orang yang hidup dalam keadaan miskin, kotor, dan terbelakang. Selanjutnya yaitu keramahan yang digambarkan bahwa orang-orang di sana dengan mudahnya mengakui Mulyono sebagai bagian dari orang-orang tersebut karena penampilan sederhana dan senyum ramah dari seorang Mulyono.

Terakhir yaitu kebodohan yang digambarkan jika perusahaan telah mengeksploitasi hasil alam di Kaki Gunung Burni Telong yang subur, tetapi orang-orang di sana tetap hidup melarat dan bodoh.

  1. Penyudutpandangan

Dalam cerpen Kiai Sili sangat berfokus pada tokoh Mulyono dari dia masih belum memiliki nama hingga dia menjadi Kepala Negara Republik Indomisia. Sehingga pada cerpen ini menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”. Dapat dibuktikan bahwa dari awal cerita hingga akhir cerita pada cerpen ini menggunakan kata “Aku” untuk menggambarkan kehidupan seorang Mulyono.

Penutup

Cerpen Kiai Sili menawarkan sebuah narasi yang penuh makna tentang dinamika sosial, politik, dan budaya melalui perjalanan hidup tokoh utama, Mulyono. Dengan tema non- tradisional, cerpen ini berhasil mengupas benturan antara nilai tradisional dan modernitas, serta memberikan kritik mendalam terhadap korupsi kekuasaan yang merusak struktur sosial. Alur maju yang digunakan, mulai dari kehidupan sederhana Mulyono di masa kecil hingga akhir masa jabatannya sebagai presiden, membuat cerita terasa runtut dan mudah diikuti. Konflik-konflik yang dihadapi Mulyono, seperti tekanan sosial hingga manipulasi tokoh antagonis, memperkuat plot tunggal yang fokus dan padat. Setiap elemen cerita saling berkaitan erat, menjadikannya sebagai karya sastra yang sarat pesan moral dan refleksi.

Penokohan Mulyono sebagai tokoh utama yang sederhana namun memiliki tekad kuat memperkuat daya tarik cerpen ini. Kehadiran latar yang beragam, seperti kaki Gunung Bumi Telong hingga istana, memperkuat penggambaran suasana sosial dan ekonomi yang dihadapi Mulyono. Sudut pandang orang pertama dari Mulyono menambah kedalaman cerita, karena pembaca diajak langsung memahami perjuangan dan pergolakan batinnya. Dengan mengangkat latar waktu yang spesifik, cerpen ini menghadirkan realitas sosial yang relevan bagi pembaca. Kiai Sili menjadi sebuah cerita yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan pentingnya integritas dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Penulis: Gibran, Kenar, Yeni, Risti, dan Faiz

1 Like