Makna Konotasi dan Retorika

Pernahkah kamu merasa bingung saat menangkap sebuah informasi yang sedang kamu baca atau dengar? Atau sebaliknya, kamu semakin penasaran dengan informasi yang sedang kamu baca atau dengar?
Kondisi tersebut sering kita jumpai baik dalam ragam bahasa tulis maupun lisan. Interpretasi yang beragam, baik positif maupun negatif salah satunya diakibatkan oleh penggunaan bahasa konotasi oleh penulis atau pembicara.

Makna konotatif menurut Parera (2004) adalah makna yang telah memperoleh tambahan perasaan tertentu, emosi tertentu, nilai tertentu, dan rangsangan tertentu yang bervariasi dan tak terduga.

Ragam bahasa tulis dan lisan yang mengandung makna konotasi tidak sepenuhnya mudah dicerna oleh orang lain. Adanya pengalaman kebahasaan yang berbeda mempengaruhi daya tangkap sebuah ragam bahasa tulis atau lisan.

Penulis, penyair, atau pembicara dengan sengaja menggunakan konotasi untuk menimbulkan reaksi pembaca atau pendengar. Misalnya, dalam sebuah tajuk berita, penulis membangun sebuah narasi “perang” dengan Covid-19. Sebenarnya, penulis dapat mengganti dengan kata sinonim yang lain seperti konflik, atau berkelahi. Konotasi perang, konflik, atau berkelahi berbeda-beda bagi setiap pembaca meskipun kedua kata tersebut seimbang.

Sebuah kata berkonotasi dapat menyinggung perasaan seseorang karena mengarah terhadap pandangan subjektif sebuah bangsa, suku atau agama. Misalnya, kata cina menimbulkan konotasi positif dan negatif bagi kelompok tertentu. konotasi yang bersifat stereotip tersebut harus digunakan dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan kelompok tertentu.

Selain itu, sikap dan keyakinan yang sudah dikenal khalayak dapat terangkat kembali menggunakan makna konotasi. Misalnya pada masa orde baru kata reformasi merupakan sebuah bentuk ancaman bagi pemerintah agar segera mundur dari jabatannya. Kini, pemakaian kata Reformasi memberikan sinyal positif bagi masyarakat Indonesia karena merupakan bentuk perubahan yang baik.

Retorika penulis dan pembicara mampu membangkitkan sikap dan pribadi untuk lebih percaya diri. Misalnya kata yang dipakai sebuah iklan produk sabun “Berani Ekspresikan Cantikmu”. Setiap kata dalam iklan tersebut mampu menyentuh pribadi dengan pas dan menarik.

Dengan demikian, gaya retorika penulis atau pembicara memiliki peran yang besar terhadap penyampaian konotasi. Oleh karena itu, makna konotasi mampu menggugah perasaan, sikap, penilaian, dan keyakinan dan keperluan tertentu. Selain itu dapat bersifat positif atau negatif. Etika seseotang dengan menggunakan bahasa konotasi harus digunakan pada tempat dan waktu yang tepat.

Referensi: Parera, J. D. (2004). Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

retorika