Kupercaya Cinta Setelah Gelap Menyapa

Kadang yang kita butuhkan bukan cahaya yang terang, tapi cukup seseorang yang mau duduk menemani saat kita gelap.”~D.N

Di suatu malam yang hening, ketika jam terasa lebih lambat berdetak dan suara dunia seolah tenggelam dalam diam, aku duduk di pojok kamar yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Lampu sudah lama padam, hanya cahaya rembulan yang menyelinap dari sela gorden, menorehkan cahaya tipis di lantai dan tembok.

Dinding tempat aku bersandar terasa dingin dan keras, tapi anehnya juga menenangkan. Mungkin karena ia diam. Tidak menuntut apa-apa dariku. Tidak menghakimi tangisku. Tidak bertanya mengapa aku masih belum bisa sembuh.

Saat Aku Lelah

Aku lelah. Bukan lelah karena aktivitas, tapi lelah yang lebih dalam yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata “capek”. Aku lelah menjadi kuat. Lelah berpura-pura baik-baik saja. Dunia tak memberiku ruang untuk runtuh, padahal yang kubutuhkan hanyalah sesaat untuk hancur. Sekedar jeda, sebelum mencoba bangkit kembali. Tapi tidak semua orang mengerti itu.

Kamu Datang

Lalu kamu datang. Tidak dengan seribu janji manis. Tidak dengan gerakan yang mencolok. Kamu hadir seperti angin sore tidak terasa di awal, tapi perlahan membuatku sadar bahwa kehadiranmu membawa tenang. Kamu tidak bertanya banyak, hanya berkata, “Aku di sini kalau kamu butuh.” Kata-kata sederhana yang terdengar sepele, tapi bagiku saat itu terasa seperti pelampung di lautan gelap.

Awalnya Takut

Awalnya aku curiga. Aku takut. Takut kamu hanya akan jadi cerita singkat lainnya. Seperti yang sebelumnya datang, membuatku percaya, lalu pergi saat aku mulai menggantungkan harap. Tapi kamu berbeda. Kamu tidak tergesa-gesa membuatku pulih.

Ditemani

Kamu tidak menuntut aku cepat melupakan masa lalu. Kamu justru bersedia duduk bersamaku di dalam luka itu. Bersamamu, aku belajar bahwa menyembuhkan tidak selalu berarti melupakan tapi menerima bahwa rasa sakit itu pernah ada.

Hari demi hari, kamu tetap di sana. Menyapaku dengan “pagi” meski aku belum sanggup membalas. Mengingatkanku makan di tengah keenggananku menyentuh apa pun. Mendengarkan ceritaku meski kadang ceritanya hanya diam dan air mata. Kamu bahkan tahu kapan harus bicara dan kapan hanya duduk menemani. Kamu hadir sebagai ruang aman yang tak pernah kupunya sebelumnya.

Mulai Menerima

Lambat laun, aku mulai membuka mata. Bukan karena lukaku sudah tidak terasa, tapi karena aku tidak lagi sendirian menjalaninya. Aku mulai bisa tersenyum bukan untuk menutupi luka, tapi karena aku benar-benar merasa sedikit lebih ringan. Kamu tak pernah memaksa masuk, tapi entah bagaimana, hatiku mulai membuka pintu.

Cinta?

Satu malam aku sempat bertanya dalam hati “Apakah ini cinta?” Kupikir cinta itu selalu datang dengan letupan besar, bunga mawar, atau ucapan puitis yang menggetarkan. Tapi kamu membuktikan sebaliknya. Bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk kehadiran yang setia. Dalam kesabaran yang tidak pernah menuntut.

Dalam cara kamu tetap memilih tinggal, bahkan ketika aku sedang jadi versi terburuk dari diriku sendiri. Kupikir setelah semua rasa sakit, aku tidak akan pernah bisa percaya lagi. Tapi kamu tidak memaksaku untuk percaya. Kamu memberiku waktu. Dan di situlah keajaibannya ketika seseorang tak meminta cintamu, tapi membuatmu ingin mencintai lagi. Kini aku bisa bilang “ya, ini nyata”.

Di Sampingku

Kamu nyata. Rasa ini nyata. Bukan karena semuanya sempurna, tapi justru karena kita mau menerima kekurangan. Karena kamu tidak berusaha menjadi pahlawan, tapi memilih menjadi teman yang berjalan di sampingku, dengan sabar, dengan tulus.

Dan di dunia yang penuh kebisingan, itu adalah bentuk cinta yang paling menenangkan. Aku tidak tahu ke mana arah cerita ini akan berakhir. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak takut. Karena aku tahu, aku tidak sendiri. Kamu tidak pernah menjanjikan akan selamanya, tapi kamu membuktikan bahwa saat ini, kamu sungguh-sungguh ada.

Aku Terbiasa

Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Aku mulai membiasakan diriku menerima kebaikanmu walau pada awalnya, aku sering merasa tidak pantas. Setiap pesan darimu selalu membuatku canggung. Setiap perhatian kecilmu, entah mengapa, terasa terlalu hangat untuk orang seburam aku.

Mulai Takut

Pernah suatu malam, aku membalas pesanmu agak dingin. Bukan karena aku marah, tapi karena ketakutan itu masih menempel di dinding hatiku. Takut jika aku terlalu nyaman, nanti akan kembali kehilangan. Tapi kamu tidak pergi. Kamu hanya menjawab dengan pelan, “Aku paham. Aku akan tetap di sini, ya.” Mungkin itu yang membuatku bertahan.

Mulai Menulis

Aku mulai menulis lagi. Bukan puisi yang indah atau cerita yang rumit tapi hal-hal sederhana. Tentang langit sore yang terasa lembut. Tentang makanan yang kamu kirimkan lewat kurir ketika kita berbeda kota. Tentang suaramu yang tenang saat aku tak bisa berkata apa pun. Tulisan-tulisan itu tak pernah kukirimkan padamu. Tapi diam-diam, setiap katanya adalah ucapan terima kasih.

Pertemuan Itu

Lalu datang hari di mana kamu mengajakku bertemu. Aku ragu. Aku belum siap. Jilbabku belum rapi. Bekas jerawatku banyak. Mataku sembab karena semalam mimpi buruk. Tapi kamu hanya tertawa pelan lewat panggilan video dan bilang, “Aku cuma mau bertemu kamu. Gak harus sempurna.”

Itu pertemuan yang aneh. Kita tidak ke tempat romantis. Hanya duduk di bangku alun-alun kota, dengan susu hangat yang mulai dingin, dan pembicaraan yang tersendat karena aku masih menyusun keberanian. Tapi kamu tidak mengeluh. Kamu hanya bilang, “Hari ini cukup.

Aku senang bisa duduk di sini sama kamu.” Dan di situlah, untuk pertama kalinya, aku melihat dengan jelas kamu bukan datang untuk mengubah hidupku. Kamu datang untuk menemaniku menemukan diriku sendiri.

Sang Mantan

Akhir-akhir ini aku mulai bicara lebih banyak. Tentang mantan yang membiarkanku kesepian. Tentang teman yang tidak pernah benar-benar hadir. Tentang malam-malam di mana aku merasa seperti beban di keluarga. Kamu mendengarkan. Selalu begitu. Dan kadang kamu bilang, “Aku juga punya luka. Tapi kita bisa belajar menenun luka itu jadi sesuatu yang lebih kuat.”

Mulai Memaafkan

Mungkin benar, aku belum sepenuhnya sembuh. Kadang aku masih terbangun dengan dada sesak. Masih takut ditinggal. Tapi kini aku tahu, menyembuhkan bukan berarti tidak pernah terluka. Menyembuhkan adalah saat kita berani melihat luka itu tanpa menutup mata. Dan sekarang, aku tidak lagi menutup mata.

Aku mulai melihat diriku dengan lebih jujur. Aku mulai memaafkan. Tidak hanya orang-orang yang pernah menyakitiku, tapi juga diriku sendiri yang dulu membiarkan hati ini terus-menerus disakiti tanpa perlawanan. Kamu pernah berkata, “Cinta itu seperti air. Ia tidak selalu datang dalam gelombang besar. Kadang, ia mengalir pelan-pelan, tapi justru itu yang membuatnya menetap.”

Ketakutan yang Tersembunyi

Kupikir setelah mulai percaya, segalanya akan terasa mudah. Bahwa dengan cinta yang pelan-pelan dan kehadiranmu yang lembut, semua rasa takut akan hilang begitu saja. Tapi nyatanya tidak. Rasa itu masih ada bersembunyi di sudut hati, mengintip diam-diam, lalu muncul tiba-tiba.

Telat Balas

Malam itu, kamu terlambat membalas pesanku. Hanya tiga jam. Dan sebenarnya aku tahu kamu sedang sibuk. Kamu sudah bilang dari pagi, ada urusan keluarga, ada hari yang padat. Tapi entah kenapa, pikiranku mulai berlari ke mana-mana.

Seolah aku sedang menunggu tanda bahwa kamu akan berubah, seperti yang dulu-dulu. Bahwa kamu pun akan lelah dan pergi. Bahwa semua ini hanya sementara. Aku tidak marah padamu. Aku marah pada diriku sendiri, yang masih dihantui masa lalu.

Aku benci betapa mudahnya pikiranku menciptakan skenario buruk, bahkan di tengah sesuatu yang sedang indah. Padahal kamu belum memberi alasan sedikit pun untuk diragukan.

Setelah Dibalas

Saat akhirnya kamu membalas, dengan pesan sederhana: “Maaf ya, tadi urgen banget. Kamu gimana?”, aku hanya menjawab singkat. Dingin. Datar. Tidak seperti biasanya. Kamu tidak protes. Tapi dua menit kemudian, kamu menelepon.

Suaramu lelah, tapi tetap lembut. “Kamu gak apa-apa?” tanyamu. Dan air mataku tumpah begitu saja. Aku tak bisa menjawab. Hanya diam. Menangis. Dan kamu tetap di sana. Di ujung sana. Tidak memaksa. Tidak menghakimi. “Aku tahu kamu masih belajar percaya,” katamu akhirnya. “Dan aku juga masih belajar untuk sabar. Tapi kita bisa belajar sama-sama, kan?”

Malam Itu

Malam itu kamu tidak bilang banyak. Tapi keheninganmu, kesabaranmu, dan cara kamu tetap bertahan semuanya membuatku sadar, keraguan memang wajar. Tapi cinta, jika sungguh-sungguh, tidak akan pergi hanya karena satu hari yang berat.

Hubungan kita tidak meledak-ledak. Tidak penuh drama, tidak diwarnai cemburu atau kecemasan berlebihan. Tapi justru di situ letak keindahannya. Kita tidak saling menuntut untuk selalu bahagia. Kita saling memahami bahwa setiap orang punya hari buruk, punya luka, dan punya batas. Aku mulai merasa lebih tenang. Lebih ringan. Seperti bisa bernapas tanpa harus menyembunyikan isi dadaku.

Akhirnya …

Waktu terus berjalan, dan tanpa kusadari, aku mulai mencintaimu. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu tidak pernah menjadikan ketidaksempurnaanku sebagai alasan untuk mundur.

Kamu tidak datang membawa solusi, tapi menawarkan pelukan yang tak pernah terasa menghakimi. Cinta ini tumbuh dalam diam. Dalam caramu mengingatkan untuk tidur cukup. Dalam caramu mengajakku keluar saat aku terlalu lama mengurung diri. Dalam caramu mengirimkan lagu yang kamu rasa “kayaknya kamu suka ini, deh.” Dan entah kenapa memang aku suka.

Aku belum pernah bilang “aku cinta kamu”, setidaknya belum dengan suara. Tapi setiap kali aku tertawa bersamamu, setiap kali aku berhenti menangis karena kehadiranmu, aku tahu aku mencintaimu.

Aku selalu berharap ini adalah cintaku yang terakhir, tidak akan ada orang baru dan kita saling mencintai sampai akhir bahkan maut tidak akan berani memisahkan kita. Semoga jalan kita dipermudah menuju “halal” itu. Terimakasih sudah hadir, aku mencintaimu wahai “Bintangku”

“Cinta tak selalu datang dengan kembang api. Kadang, ia datang sebagai pelan-pelan yang menyembuhkan.”~D.N.

Cerita ini murni pengalaman pribadi saya, dan saya menulis ini didukung oleh tokoh “kamu” yaitu pacar saya sendiri yang suka membuat kata-kata yang puitis.

2 Likes