Ketika Aku Bercerita

Aku anak kedua dari empat bersaudara. Tumbuh ditengah keluarga sederhana yang tidak terlalu kaya dan hidup di kabupaten kecil, daerah yang beberapa kali masuk ke dalam berita provinsi karena kriminalitas dan kemiskinan yang tinggi . Prihatin sejak dini itu sutu kewajiban. Saat itu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke SMA N 1 Kebumen, selain dekat dengan rumah, sekolah dengan akreditasi A, nomor satu di kabupaten, nomor 8 di provinsi, dan masuk 100 besar SMA terbaik se Indonesia.

Aku putuskan untuk memilih jurusan IPS, aku rasa IPS memang jiwaku. Awalnya sempat diragukan orang sekitar, bahkan tak jarang dicap sebagai anak bodoh karena keluargaku masih tenggelam dalam stereotip “Masuk IPA hidup bahagia”, tapi tak apa. Orang tua adalah dua orang pertama yang aku beri tahu jika IPS tidak seburuk itu, alhamdulillah mereka percaya. Selama 3 tahun, aku menutup telinga, mencoba tuli tidak mendengar nyinyiran saudara sendiri.

Aku senang mentarget diri sendiri. Kelas 10 aku sudah mulai minat ke Ilmu Administrasi Negara lalu goyah, karena tanteku bilang “Administrasi negara itu lulus jadi tukang stempel di kantor capil, kan?”. Aku yang labil, memilih melirik ke hukum, ilmu pemerintahan, ilmu politik, bahkan filsafat. Aku sengaja tidak melirik hubungan internasional, ilmu komunikasi, desain-desain, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ekonomi karena aku sadar, aku tidak sepandai itu.

Sejak kelas 10, aku sudah mulai berusaha mengejar SNMPTN. Tuhan berencana lain, aku jarang sekali masuk kelas karena kegiatan lomba, kepanitiaan, dan organisasi. Sekolah offline selama 20 bulan, sudah ku hitung total surat tugasku sebanyak 168 hari. Bayangkan, 5 bulan aku tidak masuk kelas demi semua kegiatan. Kelas 10 semester 2 aku mulai sadar, aku tidak akan masuk kuota SNM. Mulai saat itu, aku tekadkan belajar SBMPTN. Aku isi waktu istirahat latihan lomba ku untuk menulis atau menyalin materi UTBK. Sangat berat untuk membagi waktu saat itu, tapi? Aku hebat. Aku kuat dan aku bisa. Rumah hanya tempatku mandi pagi dan tidur, bahkan tidurku tidak lebih dari 4 jam, aku tidak pernah sarapan, mandi sore? Biasa aku lakukan setelah kegiatan organisasi di kamar mandi sebelah kantin.

Belajar UTBK benar-benar menguras fisik, mental, dan pikiran. Teman-temanku tidak suportif, aku tidak mengambil bimbel apapun, sumber belajarku hanya twitter. Sampai alhamdulillah, aku masuk siswa eligible kuota SNMPTN, senang? Tentu. Malam itu, aku diskusikan prodi apa yang akan aku ambil. Hukum, ayah tidak restu. Politik, ibu kata jangan. Aku putuskan, administrasi negara dan mereka mengiyakan.

Sembari menunggu pengumuman SNMPTN, aku mencoba untuk ikut learning camp bernama B3 dari Perhimak UI (Perhimpunan Mahasiswa Kebumen UI) tesnya cukup sulit, ada tertulis dan wawancara. Kabar baiknya aku diterima, aku akan hidup di sana bersama teman-teman lain, di kontrakan kecil bersama 15 orang peserta dan 10 panitia. Jika tidak pandemi, program ini akan diadakan di Depok, tapi karena pandemi, program ini dilaksanakan di Kebumen. Hanya berjarak 3 km dari rumah, tapi aturan di sana sangat ketat.

Aku membuka pengumuman SNMPTN bersama teman-teman. Bagus, aku tidak lolos. Aku merenung semalaman mencoba ikhlas. Tekadku, di SBMPTN aku lulus. Ridha Allah ada di SBMPTN. Selama 42 hari itu kami belajar mulai pukul 07.00-01.30, hp dikumpulkan dan dikemballikan pukul 02.00, padahal di waktu itu kami harus tahajud, tadzarus, dilanjut solat subuh. Makan dan minum seadanya, aku juru masaknya. Jadwal selama puasa juga tidak berubah. Selain belajar UTBK, aku juga belajar kehidupan.

Tiba hari perang. H-1 test, kami berangkat ke Jogja menggunakan mini bus dengan kapasitas 30 an orang. Hari itu juga G-nose dan beristirahat untuk tempur esok. Hari dimana ujung perjuangan tiba, kami semua tes di tempat yang sama, Gedung Limuny 4 UNY dengan nomor meja yang berjejeran. Aku sedikit gugup di awal, tapi semua soal dapat ku kerjakan. Jujur sangat bersyukur karena Allah benar-benar membantuku.

Aku menempatkan Ilmu Administrasi Negara UI di pilihan pertama. Dipilihan kedua ada prodi yang sama tapi beda kampus, ya, UNS. Dengan skor UTBK yang nyaris 700, alhamdulilah aku lolos di pilihan kedua. Aku merasa senang, karena aku adalah orang yang realita. Aku tidak lolos di pilihan pertama karena kalah pembobotan, skor di bawahku banyak yang lolos, tapi tak apa. Aku percaya, UNS memang tempatku dan jembatanku untuk menjemput masa depan yang cerah. Aku bangga, aku sudah berani bermimpi untuk masuk UI, mungkin usahaku belum cukup, mungkin Allah belum meridhoi. Ikhlas? Mungkin belum, tapi waktu akan membantuku. Aku, Donita si gadis yang memiliki mimpi setinggi bintang, kini jatuh ke awan, menanti angin dan siap melawan badai yang bisa membawa awan ini ke tempat yang indah pastinya.

1 Like