Analisis Nilai Moral Novel "Isinga Roman Papua" Berdasarkan Pendekatan Pragmatik

Kelompok 5B

Ilmu pragmatik dapat digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra. Seperti novel Isinga Roman Papua yang dianalisis menggunakan pendekatan pragmatik. Novel Isinga Roman Papua memiliki kisah yang erat kaitannya dengan upacara adat, hal-hal yang berbau sakral, hingga nilai moral yang terdapat pada gambaran wanita Papua yang hidup dengan penuh ikhlas atas segala penderitaan yang melanda.

Pada penciptaan sebuah karya sastra tidak lepas dari penyampaian nilai moral yang ditujukan kepada pembaca. Nilai moral yang ada baik tersurat maupun tersurat diharapkan berdampak bagi pembaca berdasarkan karya sastra yang dibaca. Nilai moral yang disampaikan pada novel Isinga Roman Papua yaitu rasa saling menghargai, tolong menolong, berpegang teguh pada kepercayaan yang dianut, toleransi, pantang menyerah, mampu mengendalikan diri, rajin belajar, dan peduli.

Rasa saling menghargai

Menghargai dan dihargai merupakan sebuah cara yang melibatkan ego dalam menangkap dan mengatur sinyal yang muncul dari pemikiran (Wirawan & Rahman, 2018). Semua orang dimanapun mereka berada dan apapun status sosialnya, diharuskan untuk memiliki sikap menghargai dan menghormati sesama. Tidak terkecuali dalam hal gender.

“Sama dengan Irewa, Jingi juga merasa cocok dengan Meage. Senang dengan sifat-sifat baik Meage. Keramahannya. Kebaikan hatinya. Ringan memberi bantuan. Menghargai perempuan.” (Isinga Roman Papua, hal 199)

Menghargai tidak sepenuhnya tertuju pada orang lain. Tanpa disadari, ada yang lebih pantas dan layak daripada keluarga terdekatpun. Diri sendiri. Berapa banyak cara untuk menguatkan diri dari kerapuhan, putus asa, dan penyesalan. Perlu adanya rasa simpati dan apresiasi kepada jiwa dan raga yang sudah mampu bertahan sampai saat ini.

“Yang penting bagi Irewa adalah ia bisa memiliki keinginan sendiri. Bunuh diri para perempuan biasanya dilakukan dengan cara melompat ke dalam sungai yang deras dan dalam airnya. Irewa memang sedang berada di garis putus asa. Ia merasa tak mampu lagi menanggung hidup yang begitu berat.” (Isinga Roman Papua, hal 141)

Tolong menolong

Susiati, dkk (2020) mengartikan tolong menolong sebagai suatu perilaku yang merujuk pada tindak kebaikan bukan kejahatan. Memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan sangat diharapkan walaupun menurut sebagian orang, itu hanya pertolongan sederhana. Selain itu, ada kebahagiaan dan rasa syukur tersendiri jika profesi yang dijalankan dapat bermanfaat bagi orang sekitar.

“Dokter Leon bekerja menolong penduduk Aitubu yang sakit atau masalah-masalah kesehatan lain. Kadang jika ada masalah kesehatan yang lebih gawat, ada suster lain yang didatangkan dari Manado, Pulau Sulawesi.” (Isinga Roman Papua, hal 4)

Mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama beriringan dengan sila Pancasila yang sangat berpengaruh pada kehidupan bangsa Indonesia. Mementingkan kepentingan bersama tidak lepas dari kebaikan yang kelak menyebar dan akan kembali lebih baik dari kepuasan diri sendiri.

“Meage tak lupa pendidikan dari Dokter Leon, bahwa menolong orang sedang sakit adalah utama. Ia tak bisa membiarkan orang-orang itu tergeletak di lantai. Ada yag kepalanya penuh darah. Ada anak kecil terbuka perutnya, robek. Seorang perempuan tubuhnya tak utuh lagi, tangannya tinggal sebelah. Meage tergerak begitu saja menolong para korban.” (Isinga Roman Papua, hal 35)

Sikap tolong menolong tidak selalu tampak secara langsung. Ia timbul karena kepekaan diri sendiri. Secara tidak langsung, interaksi antara pedagang dan pembeli yang menghasilkan sebuah kesepakatan memberikan senyum tersendiri bagi pedagang atas barang dagangan yang telah terjual.

“Ini noken buatan anak-anak remaja di Ruang Marya. Ia membelinya sebuah. Memilihya dari yang paling bagus. Remaja yang membuatnya senang sekali mendapat uang. Itu pertama kali ia bisa punya uang dari hasil tangannya sendiri.” (Isinga Roman Papua, hal 198)

Berpegang teguh pada kepercayaan yang dianut

Menganut kepercayaan adalah hak masing-masing individu. Semua berhak memilih sesuai dengan hati nurani karena diri sendiri lah yang akan menjalankan kepercayaan tersebut untuk ditata dan diarahkan agar tidak terjerumus pada jalan yang salah.

“Pendeta Ruben sering tak di rumah karena banyak berkeliling ke berbagai perkampungan di wilayah Lembah Piriom sampai perkampungan Hobone dan lembah-lembah lain di bawah pegunungan Megafu. Pekerjaaannya ialah memperkenalkan agama Kristen bagi masyarakat pulau itu.” (Isinga Roman Papua, hal 4)

Bukan sebuah keterpaksaan untuk mempercayai apa yang dianut. Semuanya mengatur tentang kehidupan baik di dunia maupun di alam berikutnya, sekalipun pada kepercayaan dengan matahari, bulan, dan bintang.

“Matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak lelaki dan bulan adalah anak perempuan. Bulan dating pada malam hari. Ia mengerjakan tanah. Matahri datang pada siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah mata burung, mata kuskus, mata kodok. Sedangkan yang cahayanya cemerlang, itu manusia.” (Isinga Roman Papua, hal 1)

Kepercayaan yang dianut ketika menandakan hal baik maupun buruk pasti menjadi titik perhatian khusus. Hal tersebut bertujuan agar kehidupan terus berjalan dengan baik dan terhindar dari semua larangan yang telah ditetapkan.

Menurut kepercayaan masyarakat di pegunungan Megafu, kalau ada bayi kembar, salah satu harus dibuang ke sungai atau dibunuh. Suster Karolin tentu tidak mau melakukan hal itu.” (Isinga Roman Papua, hal 86)

Toleransi

UNESCO (dalam Hadisaputra, 2020) mengungkapkan cakupan toleransi meliputi ketulusan dalam menghormati orang lain, sikap menerima dan mengakomodasi, menghormati pribadi dan budaya yang berbeda, kedamaian dalam resolusi konflik, menerima dan menghargai adanya keanekaragaman budaya, menghargai golongan minoritas dan warga asing, tertanam selera humor, kesopanan dan keramahtamahan, serta pemikiran yang terbuka. Toleransi hadir untuk menghindari perpecahan yang terjadi dalam sebuah perbedaan. Semua memiliki kedudukan yang sama untuk saling melengkapi.

“Kalau hari Minggu, sekolah difungsikan sebagai gereja. Tempat beribadah bagi orang-orang yang sudah percaya pada agama lain yang dibawa orang-orang asing ini. Yang menjadi pemimpin adalah Pendeta Ruben.” (Isinga Roman Papua, hal 16)

Pantang menyerah

Istilah lain dari pantang menyerah ialah tangguh. Pantang menyerah menurut Sholihatin (2019) merupakan sebutan bagi seseorang yang kuat/kompeten dalam menjalani segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya.

“Kamu harus bersemangat dalam hidup. Semangat itu penting untuk dipakai mengerjakan berbagai pekerjaan jika ada kesulitan. Baik di kebun, di hutan, maupun di lingkungan rumah tangga. Dengan semangat dan pantang menyerah maka pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik.” (Isinga Roman Papua, hal 23)

Mampu mengendalikan diri

Ghufron & Risnawita (dalam Zulfah, 2021) mendefinisikan pengendalian diri sebagai kecakapan dari sebuah proses yang ditingkatkan dan dipakai individu dalam kehidupan, tak terkecuali dalam menghadapi berbagai situasi yang muncul dari lingkungan sekitar.

“Ia ingin langsung datang ke Hobone. Tapi, tepat di depan matanya, ada beberapa orang sakit. “Jiwanya ditarik oleh perasaan tak tega.” (Isinga Roman Papua, hal 35)

Rajin belajar

Belajar didefinisikan oleh Nasution (dalam Rouf, 2019) sebagai usaha memperbanyak dan menggabungkan beberapa pengetahuan. Seseorang yang berusaha mempelajari banyak ilmu mendapatkan wawasan yang luas sehingga mampu memilah hal yang baik dan buruk. Selain itu, ilmu yang didapatkan dari belajar memberikan sebuah kesempatan seseorang untuk mampu bersaing ditengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat cepat.

“Kalau Jingi sekarang kuliah lagi, alasannya bukan itu. Tapi ia memang sudah sejak kecil menyukai ilmu kedokteran dan ia ingin terus-menerus mempelajari ilmu ini. (Isinga Roman Papua, hal 192)

Peduli

Narut (2019) mendefinisikan peduli sebagai perbuatan yang cenderung pada suatu objek atau peristiwa. Peduli terhadap anggota masyarakat akan membentuk sebuah tali persaudaraan yang terjalin tanpa adanya paksaan. Tidak ada keburukan yang timbul dari sikap peduli terhadap sesama. “Jingi lalu dibawanya ke Manado.

Sejak itu, Suster Wawuntulah yang mengasuh bayi itu. Ketika Suster Karolin kembali ke Aitubu, ia tidak mengambil kembali anak asuhnya itu. Ia berpikir biar saja tetap di Manado, diasuh Suster Wawuntu. Supaya nanti kalau sudah agak besar bisa bersekolah disana. Jadi, Jingi adalah anak asuh dua suster itu.” (Isinga Roman Papua, hal 89)